Dor!
Suara ledakan pistol dan baku
hantam yang bertempat di gudang suatu pabrik di distrik Shibuya menodai
indahnya sore hari. Kazuo terdiam, menatap dingin anak buahnya yang sedang
bertarung mempertaruhkan nyawa.Matanya melirik kesana-kemari, mencari seseorang
yang menjadi dalang pertempuran ini.Seseorang yang dengan beraninya mengajak
kelompoknya bertarung. Lalu matanya menangkap sosok itu, sedang berdiri di
sudut memandangi dengan takut anak buahnya sendiri yang sepertinya akan kalah.
Kazuo tersenyum sinis, lalu berjalan menghampirinya.
Sikap sombongmu itu hanya akan menghancurkanmu, Yuga. Dengan beraninya
kau mengajakku bertempur, berarti dengan beraninya pula kau coba tuk mengakhiri
hidupmu, batin Kazuo.
“Sepertinya kau senang sekali
anak buahmu berada di ambang kematian,” ucap Kazuo kepada Yuga sambil tersenyum
menakutkan. “Mengapa kau tidak ikut bertarung, Yuga? Tidak seru rasanya jika
kau tidak mengikuti pertempuran yang bahkan sengaja kau rancang demi
menghancurkan klanku.”
“Kau tidak pantas berkata begitu,
brengsek!” Maki Yuga dengan sisa keberanian yang dimilikinya. Tubuhnya sudah menggigil
hebat karena ketakutan. Tatapan dingin Kazuo mampu membuatnya merinding. Seakan-akan
di depannya telah berdiri malaikat maut yang siap menjerat sisa hidupnya.
Tetapi ia beranikan dirinya mencela pemuda yang setengah mati dibencinya.
“Dasar anak muda yang sok! Kau pikir kau bisa denagn mudahnya menjadi ketua
klan, hah? Anak busuk sepertimu tidak pantas menjadi ketua Klan Yakuza nomor
satu di Jepang! Anak muda sepertimu hanya akan menjadi sampah untuk klan Touko!
Hanya aku yang berhak, hanya aku yang berhak menjadi ketua! Hahahaha..”
Dor! tembakaan Kazuo pas mengenai
jantung Yuga, menghentikan tawanya, lalu ia terkapar seketika.
“Cih!Mulut besar,” gumam Kazuo
penuh kebencian.
Ia berbalik, lalu dilihatnya anak
buahnya yang juga sedang menatapnya senang. Sorot mata mereka penuh dengan
binar bangga karena telah memenangkan pertempuran.Lalu dilihatnya puluhan anak
buah Yuga yang sudah tergeletak tak berdaya.
“Kerja yang bagus, anak buahku.
Sekarang bereskan senjata, cek agar tidak ada satu pun yang tertinggal!
Hilangkan bukti yang mengesankan bahwa kita yang membuat kekacauan di tempat
ini! Biar klan Yuga saja yang beurusan dengan polisi,” perintah Kazuo.
Anak buah Kazuo langsung
melaksanakan perintah.Tak sampai 10 menit semua sudah beres. Mereka langsung
naik ke mobil yang diparkir di depan gudang pabrik untuk pulang ke markas
mereka.
“Tuan tidak pulang?” Tanya
Kyouhei —anak
buah Kazuo—
yang heran melihat bossnya berjalan kea rah berlawanan.
“Tidak. Aku ingin menyisir daerah
ini sebentar.Kalian pulanglah duluan,” Ujar Kazuo.
Setelah anak buahnya pulang,
Kazuo menyusuri jalan yang sepi. Entah kenapa ia sangat ingin sendirian. Ia
sedang malas mendengar teriakan-teriakan dan ocehan anak buahnya. Ia merindukan
kesunyian.
Aku lelah dengan semua ini, batin
Kazuo perih.
Terlahir di keluarga Touko, klan yakuza
terkuat di Jepang, membuat Kazuo seolah hidup seperti boneka. Hanya
dikendalikan oleh kakeknya yang menjadi ketua Yakuza kala itu. Ayah dan ibunya tak
pernah menyapanya. Hubungan ayahnya dan kakeknya yang tidak baik lebih dari
cukup untuk menjelaskan kekakuan hubungannya dengan keluarganya. Dididik dari
kecil untuk menjadi seseorang tak berperasaan, diajari bagaimana cara membunuh,
dan mengeruk keuntungan pribadi tanpa mempedulikan orang lain membuat hatinya
menjadi sekeras batu.
Tetapi ia hampa. Dan ia tahu itu.
Rasanya menyakitkan. Sakit yang
tidak bisa dihapus dengan cumbuan wanita-wanita dan para geisha yang
menemaninya tiap malam. Sakit yang tidak bisa dihilangkan dengan meluaskan
kekuasaan dan membunuh orang seenaknya. Sakit yang tidak bisa ditawar dengan
tumpukan koper penuh uang yang ia dapatkan dari mengeruk keuntungan.
Hatinya terlalu beku untuk
menangis karena kesakitan itu.
Dan justru rasanya lebih
menyesakkan.
Sudahlah, tak pantas bagi seorang ketua klan yakuza`sepertiku terlalu
sering memakai perasaan seperti tadi. Tak ada yang beres jika diselesaikan
dengan hati. Persetan dengan keluarga itu! Makinya dalam hati.
Tak terasa sudah satu jam lebih
ia berjalan. Dilihatnya mega merah sudah membayung di langit, menandai
berakhirnya siang hari dan siap menyambut malam yang pekat. Dipandangnya
wilayah sekitarnya. Ia hanya asal berjalan, tak tahu dimana sekarang ia berada.
Dilihatnya rumah-rumah yang berjejer.
Rumah.Tempat kembali. Cih, tempat kembaliku hanya akan bermuara pada
kegelapan.
Tiba-tiba ia merasakan dadanya
sakit sekali, seperti dihantam godam.
“Aargh!” jeritnya kesakitan
sambil tersungkur. Ia menyentuh dadanya, merasakan kesakitan yang luar biasa.
Pandangannya mengabur. Lalu samar-samar ia mendengar langkah kaki yang
mendekatinya.
“Astaghfirullah!Kau kenapa?” ucap
seorang perempuan yang menghampirinya.
“Siapa kau? Pergi! Jangan
hiraukan aku!”
“Ugh, masih sempat-sempatnya sok
kuat. Ayo, kau butuh perawatan!” ucap perempuan itu sambil mengulurkan
tangannya.
Kazuo mengambil pistol yang
terletak di pinggangnya dan mengacungkannya pada perempuan itu.
“Jangan sentuh aku! Akan kutembak
kau jika berani menyentuhku!” seru Kazuo. Kazuo berusaha memfokuskan
pandangannya. Tetapi yang mampu dilihatnya hanya kepala yang berbalut kain biru
muda.
Lalu ia tak mampu melihat apa-apa
lagi.
Susah
payah Ara membopong tubuh berat pemuda itu masuk ke rumahnya. Digesernya pintu,
lalu ia baringkan pemuda itu di atas kasur gulung yang sudah ia keluarkan
sebelum ia keluar dari rumah. Ia selimuti tubuh itu, dan meletakkan bantalan
berisi air hangat di atas dadanya. Seraya berharap itu bisa mengurangi
sakitnya.
Ia
meletakkan pistol pemuda itu di tempat yang tak terjangkau olehnya.
Berjaga-jaga agar pemuda itu tidak mencoba menembaknya lagi. Dari pistol yang
dimiliki pemuda itu dan penampilannya, Ara yakin bahwa pemuda itu adalah
seorang yakuza, komunitas yang sangat dihindari para warga Jepang.ia menyadari
kebodohannya menolong salah seorang yang sangat ditakuti di Jepang, apalagi membawanya
ke rumahnya! Sangat bodoh. Sesaat ia menyesali keputusannya. Tetapi mengingat
wajah kesakitan pemuda itu tadi, ia cukup yakin bahwa itu adalah pilihan yang
tepat.
Toh,
ia juga manusia. Sangat tidak manusiawi sekali jika aku tidak menolongnya tadi,
batin Ara.
“Allahu
akbar! Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar!” Suara adzan terdengar dari iPhone
milik Ara, menandakan sudah tiba waktunya bagi seorang muslim sepertinya untuk
bersembhayang memuja Tuhannya. Bertemu dan mengadu hanya kepada-Nya.
Ia
pun berwudhu dan memakai mukena. Ia gelar sajadahnya di samping kasur tempat
pemuda yakuza itu terbaring, sekalian berjaga-jaga jika ia terbangun.
Setelah
sholat dan berdoa, ia pun mengambil mushaf kecil di atas meja dan mebaca surah
Ar-Rahman. Surat yang berisikan tentang nikmat Tuhan bagi orang-orang yang
mematuhi perintah-Nya dan siksaan bagi para pembangkang-Nya ini dibaca Ara
dengan sepenuh hati hingga matanya mulai basah karena air mata. Kalam-Nya yang
luar biasa indah menggugah hati siapapun. Termasuk hati Kazuo yang terbangun
karena mendengar suara Ara saat membaca Al-Quran. Ia terperangah melihat gadis
di depannya melantunkan nada lagu yang sangat indah, tak pernah terdengar
olehnya selama 25 tahun ia hidup. Lantunan itu membuat hatinya tenang. Mencairkan
semua kebekuan hatinya sehingga tiba-tiba air matanya menetes. Semakin lama
semakin hebat, hingga ia terisak kecil. Ara yang mendengar isakan itu langsung
menghentikan bacaan Qur’annya dengan membaca shodaqallahul ‘azhiim lalu menghampiri Kazuo.
“Doushite?
Kenapa menangis? Ada yang sakit?” Tanya Ara cemas.
Kazuo
memandang wajah gadis di depannya. Seraut wajah berbentuk oval, berkulit kuning
langsat, dengan hidung mancung dan bibir yang pas menmpati site-nya. Lalu ia
menatap matanya. Mata terindah yang pernah dilihat Kazuo. Besar dan indah,
tidak seperti orang Jepang yang umumnya bermata sipit. Bulu matanya tidak
terlalu lentik, tetapi panjang dan cantik. Alis matanya yang tebal melintang
tegas di atas matanya. Rambutnya ditutupi kain yang ia tak tahu apa namanya,
tetapi terlihat anggun di matanya.
“Hei!
Kok bengong? Kamu kesakitan?” Tanya Ara.
“Ah,
tidak. Daijobuu. Kau siapa?” Tanya Kazuo ingin tahu.
“Oh
ya, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Ayara Anjani Musa, tetapi panggil aku
Ara saja. Maaf aku lancang membawamu ke rumahku. Habisnya aku tidak tahu lagi
bagaimana cara menolongmu yang kesakitan sore tadi,” jelas Ara panjang lebar
sambil tersenyum kecil. “Namamu siapa?”
“Kau
tidak tahu aku? Aku Kazuo Touko,” jawab Kazuo. Ia heran ada warga Jepang yang
tidak tahu namanya yang jelas-jelas terkenal sebagai salah satu orang terjahat
di negara ini. Lalu Kazuo teringat saat-saat sebelum ia pingsan. Walaupun
samar, ia yakin ia sempat menodongkan pistolnya ke gadis ini. Tetapi ia
putuskan untuk tidak mengungkitnya. “Kau bukan orang Jepang ya?” Tanya Kazuo.
“Bukan.
Aku orang Indonesia. Aku tinggal disini untuk melanjutkan pendidikanku. Kau
tahu negaraku? Indonesia?” Tanya Ara bersemangat.
Kazuo
tersenyum sinis mendengar nama Negara itu. Bagaimana
aku tak tahu, banyak klien bisnis gelapku yang berasal dari sana, batin
Kazuo.
“Ya,
aku tahu. Aku sering ke Bali,” jawab Kazuo. “Oh iya, lagu apa yang kau
nyanyikan barusan?”
“Hah?
Lagu?Kapan aku menyanyikan lagu?”
“Yang
tadi kau lantunkan sebelum aku bangun apa?”
“Oh,
itu Al-Quran, kitab suci di agamaku. Aku bukan menyanyikannya, tetapi
membacanya. Salah satu anjuran di agamaku adalah jika membaca Al-Quran maka
sebaiknya kita memperindah suara kita. Karena itu adalah wahyu Tuhan,” jelas
Ara panjang lebar.
“Bisakah
kau membacanya lagi? Aku ingin mendengar kau membacanya,” pinta Kazuo.
Ara
terperangah karena kata-kata Kazuo. Ia tak menyangka seorang pemuda yakuza di
depannya tertarik dengan Al-Quran. “Dengan senang hati!” sahut Ara senang. Ia
pun mengambil mushaf dan membukanya. Sebelum membaca, ia tersenyum manis kepada
Kazuo dan langsung membacanya.
Senyum
yang manis sekali. Sampai Kazuo tercekat.
Lalu
ia sadar. Apa-apaan kau, Kazuo!
Dan
terdengarlah untaian ayat kitab suci itu. Kazuo memejamkan matanya, mencoba
menghayati setiap lantunan bacaan yang dibaca oleh Ara. Untaian ayat yang entah
kenapa mampu meneduhkan jiwanya sejak pertama kali ia mendengarnya. Ara pun
membacanya sepenuh hati.
Tanpa
mereka sadari, itu menjadi momen terindah di dalam hidup mereka.
“Mana
pistolku?” Tanya Kazuo. “Aku yakin kau tidak bodoh dengan membiarkannya begitu
saja, kau menyimpan pistolku kan?”
Ara
teringat pistol pemuda itu yang ia letakkan di lemari. Sepertinya Kazuo sudah
mulai ingat tentang pistolnya. Bingung harus berkata apa, Ara berkata jujur,
“Ya, kusimpan pistolmu. Berjaga-jaga agar tidak kau gunakan, wibawamu sebagai
seorang Yakuza tidak berlaku di rumahku, tahu,” kata Ara.
“Kau
tahu aku orang jahat, lalu mengapa kau menolongku?” Tanya Kazuo penasaran.
Ara
terdiam. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia menolong Kazuo. Yang ia tahu, ia pun
menderita saat melihat Kazuo kesakitan
“Entahlah,
aku juga tidak tahu mengapa aku menolongmu. Yang jelas, aku sekarang tidak
menyesal.”
“Hei,
aku bisa saja melakukan hal-hal yang tidak kau inginkan. Aku bisa saja
membunuhmu disini. Kau tidak takut?” Tanya Kazuo heran.
Ara
terdiam. Sebenarnya ia sudah sangat takut. Pemuda di depannya ini adalah
seorang Yakuza terhebat di Jepang, dan ia bisa dengan mudah membunuhnya. Tetapi
entah kenapa, keberaniannya tiba-tiba muncul,
Allah dekat denganmu, Ara, batinnya
kepada dirinya sendiri.
“Aku
punya Tuhan, Kazuo-san. Dan aku yakin Ia akan menolongku jika kau bermaksud
untuk membunuhku,” kata Ara mantap.
Kazuo
terperanjat, tak menyangka Ara akan menjawab seperti itu. Ia tatap mata gadis
itu, dan ia temukan keyakinan disana.
Gadis ini benar-benar penuh kejutan,
batin Kazuo.
“Baiklah,
pasti tiba saatnya kau akan menyesal telah membiarkanku berada di rumahmu,”
ujar Kazuo pelan.
“Kazuo-san,
ada satu hal yang aku percaya. Sejahat-jahatnya seseorang, hati nuraninya pasti
baik. Tak peduli ia telah membunuh ribuan orang atau melukai hati jutaan orang,
hati nuraninya pasti seputih hati malaikat,” ucap Ara. “Dan aku tidak tahu dari
mana keyakinan itu kudapatkan, bahwa aku yakin hati nuranimu juga seperti itu.”
Kazuo
menatap Ara nanar.“Cih! Kau percaya Tuhan, Ara? Buktikan kepadaku bahwa Tuhanmu
itu ada!” kata Kazuo.
“Ya, aku
percaya Tuhanku. Aku percaya Dia ada, walaupun aku tidak bisa melihatnya. Tuhan
itu ada dan Dia dekat, Kazuo-san. Lebih dekat daripada urat leher kita
sendiri,” ujar Ara mantap sambil tersenyum. “Maaf aku tidak bisa membuktikannya
secara langsung kepadamu, tetapi akan tiba saatnya kau mengerti, Kazuo-san.”
Kazuo
hendak membantah kata-kata Ara, tetapi tiba-tiba hal itu datang lagi.
Sakit
menyiksa yang ia rasakan di dadanya.
Ia
menjerit kesakitan. tetapi sekeras apapun ia menjerit, rasa sakit itu tidak
akan pernah hilang.
Lebih baik mati daripada merasakan sakit
ini…
Lalu
semuanya gelap.
Senja
hari, di depan sebuah nisan. Seorang pemuda sedang membaca sepucuk surat yang
kertasnya sudah menguning.
Kazuo-san…
Mungkin saat kau baca surat ini,
aku tidak akan pernah muncul di depanmu lagi.
Tetapi tak apa. Tak ada yang
lebih membahagiakan daripada mengetahui bahwa kepergian kita membawa kebaikan
bagi orang lain.
Seperti kepergianku.
Apakah kau ingat, Kazuo-san?Saat
kau bertanya mengapa aku menolongmu?
Aku dulu tak tahu mengapa.
Saat melihatmu kesakitan waktu
itu, yang aku pikirkan hanya bagaimana cara menyembuhkan sakitmu.
Tetapi lama-kelamaan, sepertinya
aku tahu jawabannya.
Aku mencintaimu, Kazuo-san. Aku
mencintaimu karena Tuhanku.
Bodoh ya, aku tidak pernah
bertemu denganmu sebelumnya. Aku mencintaimu bahkan sebelum aku mengenalmu.
Tetapi aku yakin rasaku nyata.
Melihat sorot matamu yang hampa dan dingin karena hidup dalam kekerasan,
menggugah hatiku untuk menopang lelahmu.
Dan saat melihatmu kesakitan
setelah perbincangan kita tentang Tuhan, saat aku mendengar vonis dokter
tentang jantungmu, dan juga karena penyakitku sendiri yang kuderita, aku yakin
keputusanku ini benar.
Keputusanku untuk berkorban ‘sedikit’
demi kebahagiaan dan kelangsungan hidumu.
Dan, aku ingin kau tahu…
Tuhan itu ada, Kazuo-san.Tuhan
itu ada dan telah menakdirkan kita bertemu di waktu senja itu.
Tuhan itu menyayangimu, Tuhan
tahu lembutnya hati nuranimu, Tuhan mengasihimu.
Terimakasih telah membuatku
merasakan perasaan ini sebelum kepergianku.
Di setiap detik kenangan kita
yang sangat singkat, aku tidak akan pernah melupakanmu.
Manfaatkan hidupmu
sebaik-baiknya.
Sampai jumpa lagi nanti, jika
Tuhan menghendaki.
-Ayara-
P.S. Kau orang baik, Kazuo-san.
Jangan lupakan itu. J
Kazuo’s
Last Note
Sudah
6 tahun berlalu sejak pertama kali ku bertemu dengan gadis itu.
Satu-satunya
gadis yang tidak takut kepadaku. Gadis yang mengajariku tentang Tuhan, tentang
hati nurani, tentang kebaikan hati. Gadis yang mencintaiku, dan juga kucintai
sepenuh hati. Rasa cinta yang sayangnya baru kusadari setelah ia pergi karena
penyakitnya dengan mengorbankan jantungnya demi kelangsungan hidupku.
Seribu
ucapan rasa terimakasih tidak akan bisa mewakili segala rasa syukurku kepada
Tuhan karena telah mempertemukanku dengannya.
Aku
percaya Tuhan. Aku percaya Tuhan itu ada.
Dan
sampai sekarang, sejak peristiwa itu, Alhamdulillah syahadatku masih terus
bertahan sampai sekarang.
Aku
bukanlah lagi seorang ketua klan Yakuza. Aku hanya seorang hamba-Nya. Seorang
hamba yang mencintai Tuhannya dan makhluk-Nya yang telah berada di sisi-Nya.
Dimanapun kau berada, doaku selalu
menyertaimu. Terimakasih atas kehadiranmu di hidupku dan cintamu. Aku
mencintaimu karena Allah, Ayara.
(Yogyakarta, 15 Januari 2012, 19:58)