Minggu, 31 Mei 2015

River Flows in You*

Semesta terlalu meraja tuk kudera

Lalu aku hanya diam, mengikuti permainan yang ia tawarkan

Karena saat kemungkinan itu dengan lancang kembali,

Aku pasti akan tetap jatuh lagi dan lagi.

"So I let down my guard, drop my defences, down by my clothes. So I'm learning to fall, with no safety net to cushion the blow." ~ Natasha Bedingfield

*judul berdasarkan lagu karya Yiruma

Sabtu, 30 Mei 2015

Painful Surrender

I know you never see me the way I wish you would,

So I decided to sit and bleed alone.

And after a lot of bloods that turned into inks,

I hope I could laugh again and live on.


Kamis, 28 Mei 2015

Book Review | To Die For by Linda Howard


Judul: To Die For (Sang Target)
Pengarang: Linda Howard
Tanggal Terbit: Januari 2008
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 496

One of my favorite books from my favorite author.

To Die For adalah seri pertama dari dwilogi Blair Mallory Series karangan Linda Howard. Linda Howard kan biasanya nulis cerita contemporary romance yang berbalut suspense, atau bahkan historical romance, tetapi di To Die For, Linda Howard benar-benar menawarkan sesuatu yang baru, yaitu contemporary comedy romance (berbalut suspense, tentu saja).

Lajang, cantik, dan sukses. Kehidupan Blair Mallory memang menyenangkan. Sampai salah satu anggota Great Bods---gym milik Blair---mulai meniru pakaiannya, rambut pirangnya, bahkan mobil convertible putih kebanggaan Blair. Suatu malam, wanita peniru itu mati ditembak di lapangan parkir Great Bods, dan Blair-lah satu-satunya saksi. Sejak itu berkali-kali upaya pembunuhan ditujukan pada Blair. Dan Letnan Wyatt Bloodsworth---yang dua tahun lalu pernah terlibat hubungan asmara dengan Blair---mengambil alih kasus itu, sekuat tenaga memastikan keselamatan sang saksi tunggal. Tetapi, seiring dengan makin banyaknya fakta dan bukti terungkap, Letnan Bloodsworth curiga bahwa Blair lebih daripada sekadar saksi. Bahwa sebenarnya Blair Mallory adalah sang target utama. (Goodreads)

What I love the most about this novel (selain fictional man-nya tentu lah, itu mah jangan ditanya)? The comedy.

Komedinya kerasa banget, and really, untuk tipe-tipe penulis yang jarang buat novel komedi, Linda Howard berhasil nunjukkin bahwa dia juga jago meramu humor yang nggak akan membuat para pembacanya tumbang gara-gara kegaringan. Blair Mallory sebagai tokoh utama adalah spotlight utama humor di novel ini, yang mana sebagian kelucuan di novel ini berkat kelakuannya yang quite unpredictable. FYI, Blair adalah mantan cheerleader, and if you think that most blonde cheerleaders are bitchy and stupid, Blair Mallory is definetely not one of them. Ni karakter keren plus cerdas. Bukan cerdas model geeky or sexy smartass ya. She is smart in every woman can be. Cerdas perempuan sejati lah. Efisien, cermat, tough, dan tentunya jago ngeles. Ceplas-ceplos gila.

The second one that I really love about this novel? The romance.

Kombinasi antara Blair Mallory yang cewek banget (dengan segala ke-rempong-an dan sifat cerewetnya) dan Wyatt Bloodsworth yang cowok banget (dengan sifat keras kepala dan ego-nya) menghasilkan pasangan yang bego mampus dan ngajak ngakak banget. Dan si Wyatt ini, my darling Wyatt, is fckn admirable. Jangan samakan definisi admirable dengan tipe cowok romantis dengan kata-kata manis ya. You know lah, di novel-novel kaya gini biasanya tokoh cowoknya kayaknya kelebihan testosterone semua. Ego dan keras kepala-nya kadang nyebelin. Bener-bener tipe laki-laki tegas tanpa basa-basi. But the definition of admirable here refers to the way he treated  Blair. Sumpah ya, Wyatt isn't cheesy guy at all, tapi kelakuan dan perlakuannya dia ke Blair itu meng-kyuuuung-kan hati banget. They fought a lot. Like, a LOT. Kadang sampe tahap yang bikin geregetan pembaca karena masalahnya sepele mampus. Tapi ya lika-likunya emang disitu sih, lika-liku gokilnya, maksudnya. Believe me, they will be your favorite couple.

Dari segi suspense-nya emang nggak se-bold novel-novel Linda Howard yang lain, tapi tetap detail dan jelas kok. Action-nya pun dapet. Karena POV-nya dari sudut pandang Blair, memproyeksikan deskripsi kekacauan dan peristiwa dari dalam novel ke otak menurut saya juga nggak terlalu sulit seperti novel-novel suspense lainnya, karena deskripsinya jelas dan nggak bertele-tele.

Really, this novel is worth reading. ;)

Senin, 25 Mei 2015

Happily Waiting

Happiness is something that you live in your life, not something that you get in the end of your life. Don’t wish for happiness. Just live your life happily,” they said.

So here I am, in the middle of nowhere, in the twisting game that has been given by this universe, in the momen when I’m stuck in the same pattern and lost in a same labyrinth over and over again, in the moment when I know that you know but you seem like don’t really want to make this grow, in the moment when you’ve got me fucking wrapped around your finger but you don’t even fucking care...

I. Am. Happily. Waiting.

Waiting for all people to punch me in the face and make me sober, waiting for the moment when my heart could finally say “I’m no longer falling”, waiting for the day when my stomach could stop aching when I hear your name, waiting for the moment when I would laugh freely at this stupidity.

The stupidity of being controlled by a person who doesn’t even want to take control.

Heck it. 

Give it to God and go to sleep.

Minggu, 24 Mei 2015

Berkelahi

“Bapakmu dulu nakal sekali! Zaman kecil, sering sekali Ia berkelahi dengan pamanmu. Pernah suatu hari mereka berkelahi, saking marahnya pamanmu, dikejarnya bapakmu itu dengan membawa parang. Suatu hari pernah juga Kakek sedang sholat sementara pamanmu dan bapakmu itu berkelahi. Tak sengaja dilihatnya pamanmu mengambil pisau dari atas lemari, langsung berhenti lah sholatnya.”

Aku bengong, lalu tertawa terbahak-bahak.

“Serius, Cik?” tanyaku disela-sela tawa.

“Iya, serius. Kami itu saudara sering sekali berkelahi waktu kecil. Aku juga dulu sering berkelahi dengan Acikmu yang lain. Lihat lah pamanmu itu! Waktu kecil mana bisa Ia ditinggal dengan adiknya, sekalinya ditinggal sudah saling terjang!”

Aku tertawa, menatap pamanku yang tersenyum malu.

“Tetapi sudah berumur begini, tak pernah sekali pun kami berkelahi, malah saling bantu. Nyaman rasanya. Berbeda lah dengan orang-orang lain yang waktu kecil akur dengan saudara-saudaranya, tapi beranjak besar malah sinis saling menjatuhkan.”

Aku terdiam, lalu meringis. Tiba-tiba teringat dengan kakak dan adik di rumah. Rindu.

Mungkin bagusnya kami terus berkelahi di masa muda, pikirku. Teruuus bertengkar sampai lelah, menikmati kesenangan masa muda. Hingga akhirnya, di masa tua kami hanya akan mensyukuri keberadaan satu sama lain. Tertawa bersama, mengingat kebodohan lama.


Gambar diambil di sini

Sabtu, 23 Mei 2015

A Walking Paradox

Depok beach, May 23rd 2015

Di jalan berdebu yang kupikir akan menuju kamu, aku tak tahu harus menyesal atau bersyukur.

Yang aku tahu, rasanya tidak nyaman, terlalu banyak harapan.

Dadaku seperti tamborin yang dipukul, menghentak-hentak, memacu derasnya aliran darah.

Konyol! makiku jengkel, mengutuk skenario tabu nan pilu yang tak hentinya membayang.

Tapi saat di ujung jalan tak ada kamu, mulutku kaku, bimbang luar biasa.

Tersenyum dan meringis pada saat yang bersamaan rasanya lebih perih daripada yang kuduga.

Maka, sudut bibirku mulai berkedut, lalu aku pun tertawa.

Keras, lantang, penuh luka.

Sial.

Hatiku ternyata tak mau mati rasa.

Jumat, 22 Mei 2015

Ale Risjad at a glance

CRITICAL ELEVEN PO TANGGAL 1 JULI, BOI!

Ya, saya ternyata se-histeris ini.

Sudah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun saya menunggu novel ini keluar sejak cerpennya dimuat di Kumpulan Cerpen Autumn Once More. Ika Natassa yang sukses membuat delusional ribuan wanita Indonesia, kini berusaha mengguncang lagi sisi hopeless romantic para wanita dengan menerbitkan novel Critical Eleven ini. Sambutannya luar biasa pula, ratusan mention dan komentar sepertinya berseliweran di Twitter dan Instagram sejak Ika Natassa mem-post pengumuman tentang PO dan cover novel ini. Duh, cover-nya pun menjanjikan. Sederhana tapi juga unik, tipe-tipe cover novel yang tidak berbicara banyak kepadamu, tapi bekerja langsung ke saraf tanganmu. Iya, rasanya langsung pengen ngambil terus bawa ke kasir.

Figur Ale Risjad sebagai tokoh utama pun sepertinya dapat menjadi kandidat kuat untuk menggeser posisi Beno Wicaksono sebagai The Best Fictonal Man Ever versi saya. Ya, di antara ratusan novel yang pernah saya baca dengan tokoh laki-laki bagaikan dewa, bagi saya Beno Wicaksono dari novel Divortiare dan Twivortiare tetap menjadi yang pertama.

I want to say Ruly Walantaga, but his inability to love Keara has broken my heart. L

Anyway, tokoh Ale Risjad yang sudah di-spoiler-kan oleh Sang Maha Pencipta Fictional Men Kanjeng Ratu Ika Natassa ini sepertinya cukup menjanjikan. Dari cerpennya, Critical Eleven menceritakan secara singkat (terlalu singkat malah, bikin penasaran) tentang pertemuan si Ale dengan sang tokoh utama perempuan yang bernama Tanya. Gaya penulisan Ika Natassa yang asyik dan witty menjadi daya tarik utama bagi para pembaca setianya, termasuk saya. Walaupun POV cerita dibuat berdasarkan sudut pandang Tanya, Ika Natassa dapat secara apik mendeskripsikan sosok Ale yang sangat jauh berbeda dengan Harris Risjad, adiknya, yang lebih dulu dikenal dari novel Antologi Rasa. Ale ditampakkan sebagai orang yang ramah dan baik, gentleman, dan mungkin juga rajin menabung, berbeda dengan Harris dikenal sebagai bad boy dan PK (I’m quoting Keara here). Tweet-tweet-nya di akun yang ber-username @AleRisjad pun cukup untuk membuat saya jatuh cinta. Pokoknya, Ale Risjad terlihat seperti laki baik-baik, dan suami-able.

Tetapi ini hanya pengenalan at a glance dari tweet dan cerpen, dan saya sangat tidak sabar menunggu novel ini, untuk mengenal Ale Risjad seluruhnya.



 Gambar diambil dari akun Twitter @AleRisjad 

Kamis, 21 Mei 2015

Senyuman Emak

“Efha, nanti klo udah lulus, mau kerja atau nikah?” tanyamu waktu itu.

Aku terdiam. “Kok nggak ada pilihan kuliahnya, Mak?”

Tentu, semua orang di ruangan itu tertawa terbahak-bahak.

Lalu kau ikut tertawa, baru menyadari bahwa zaman beranjak berubah, waktu terus berjalan dan pola pikir orang-orang berkembang. Berbeda dengan masamu, kuliah adalah hal yang lazim pada saat ini, bahkan suatu keharusan di mata masyarakat “beradab”.

Tapi sekilas aku bisa melihat percikan syukur di matamu. Mata yang sudut-sudutnya telah dihiasi keriput itu menyipit karena tawa, tapi binar yang terpancar dari matamu tak pernah lelah menunjukkan cerminan hati pemiliknya. Binar penuh rasa penerimaan yang tulus, dan rasa syukur yang ikhlas, sesuai namamu.

Qana’ah. Menerima.

“Yaa, yaudah klo mau kuliah dulu mah. Yang penting kuliah yang bener ya, Fha, biar jadi sukses. Emak mah doain terus,” katamu.

***

Entah mengapa, adegan itu yang terputar di kepalaku hari ini. Sejenak setelah aku menerima telepon dari ayahku.

“Fha, Emak sudah meninggal,” katanya. Sendu.

Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun.

Seperti rekaman yang terputar otomatis, adegan-adegan saat kau ada di depanku berkelebat di kepala. Saat aku kecil, saat ayah dan ibu sibuk bekerja, kau yang mengejar-ngejarku seharian, meladeni semangat anak kecil kurang ajar yang kabur dari neneknya karena tak mau disuapi. Saat aku sakit tifus, kau yang mengusap-usapi kepalaku, membujukku agar aku tertidur, menenangkan aku jika aku meronta karena nyeri kesakitan. Saat aku beranjak dewasa, kau yang tak pernah bosan menyambutku saat aku mengunjungimu. Bahkan saat aku semakin jarang datang, semakin jarang mencium punggung tanganmu, semakin malas menemuimu hingga harus diingatkan oleh orangtuaku sendiri.

Tapi ada satu hal, senyum itu tetap sama. Senyumanmu yang tulus dan lebar hingga membuat matamu menyipit. Senyum penuh rasa syukur yang dihiasi dengan binar mata penuh rasa penerimaan.

Semoga kau akan tetap tersenyum di atas sana, Mak.

Al-fatihah...


Gambar di ambil di sini

Jumat, 15 Mei 2015

Tawa

"Sesuatu yang membuatmu menangis keras hari ini, kelak akan membuatmu terpingkal-terpingkal," katanya.

Tetapi, jarak antara "hari ini" dan "kelak" itu sesuatu yang tak seorang pun tahu, bukan?

Sekarang ini, aku bisa saja menangis sambil tertawa, menertawakan diri sendiri dan kebodohan yang terus berulang. Aku bisa saja tersenyum cerah ceria, pura-pura mati rasa dan tak tahu apa-apa. Aku bisa saja menangis tanpa jeda, membanting apapun yang ada di depan mata, menyesali semua yang ada.

Tapi apa yang kulakukan? Tidak ada. Hampa. Karena melepas sesuatu yang sesungguhnya tak pernah kau miliki itu rasanya lebih konyol daripada lelucon manapun, tetapi juga lebih menyedihkan daripada cerita apapun.

Kapan aku akan tertawa lepas karena alasan yang sama sekali berbeda? Tertawa lepas dengan mata yang berbinar? Bukan tawa palsu yang dihiasi mata sendu penuh rasa kecewa?

Ya Tuhan, semoga secepatnya.