Selasa, 16 Mei 2017

I c a r u s

Ayah berkata,
"Jangan terlalu dekat dengan Ra."
Seraya melapisi tubuhku dengan baluran buatannya
Aku dingin dan kaku
Namun tubuhku terbakar
Rindu dendam yang terpendam
Ayah,
Bagaimana aku menjauh
Saat api ini terlalu menyala
Menghanguskan dari dalam sejak lama
Maka maafkan karena buta mataku akan cahaya
Adalah keputusasaan tak bernama
Ayah,
Hangat ini terlalu nyata untuk diabaikan
Aku bukan sekedar terbang
Aku menerjang untuk pulang

Minggu, 14 Mei 2017

How To Be Average

Keep everything simple. Play safe. Do your work right before the deadline. Be invisible. Smile and congratulate people who achieve more than you. Eat in the same place every week. Jump in to the main stream. Do what people do. Be indifferent, not different. Go to vacation once in every 6 months. Love anything habitual. Give a surprise gift for the receptionist in your office just because you meet them everyday. Get married to someone you've known for years. Die with peace. Few people, less drama.

Because sometimes it's good to live your life slowly and simple.

And also understand, really understand, the sincere meaning of "I'm happy for you."

Kamis, 11 Mei 2017

:)))

Kenyataan akan kebersamaan kita waktu itu kadang membuatku merasa menjadi orang terbodoh di masa lalu
Tapi tak apa
Aku yang juga meninggalkanmu di masa lalu toh sudah membuat masa depanku bangga

Selasa, 09 Mei 2017

Gelap

Kau terlalu mencintai hingga surga kau kuasai sendiri.
Kau terlalu merasa istimewa. Kau rangkul mereka dengan mesra, lalu mengantarkan mereka ke gerbang neraka.
Peran Tuhan kau nihilkan, hanya balik badan lalu meneriakkan nama-Nya tanpa pernah lagi menoleh ke belakang.
Dan di pojok sana, para setan sedang menyeruput minuman, tidak ada kerjaan karena semua manusia yang melakukan.

Senin, 08 Mei 2017

Darah & Kelopak Bunga

Tiap fragmen itu muncul, entah tentang jalan yang terhempas ban kendaraanmu, atau ombak yang pernah kau teriaki, atau kudapan yang pernah kau nikmati, atau lagu yang biasa kau nyanyikan...
Aku belajar untuk menghadapinya dengan mata terbuka dan ingatan yang menyala.
Karena aku ingin mengenalkan kepada jalan itu tapak kakiku yang tanpa kamu. Karena aku ingin ombak mendengar bisikan namaku yang tak lagi dilatari oleh suaramu. Karena aku mau bernyanyi sekeras-kerasnya tanpa harus memaki terlebih dahulu. Karena aku ingin merasakan dan menelan setiap kenangan itu mentah-mentah. Murni beserta segala luka dan darahnya, utuh beserta percik embun dan kelopaknya.
Kau hanya pernah. Sudah. Lelah.

Minggu, 07 Mei 2017

Bedah Buku dan Kepusingan yang Melanda

Baru saja saya menghadiri sebuah bedah buku 'Layla' karangan Gus Candra Malik. Tentu saya tertarik datang, selain karena buku-buku beliau, turut hadir Prof. Nadirsyah Hosein sebagai pembicara. Saya sebagai follower-setia-siap-retweet beliau tentu harus hadir walaupun tidak secara eksplisit membawa spanduk bertuliskan “Notice me, Senpai!”

Ternyata buku Layla (yang belum saya beli bahkan saya baca bahkan saya tidak tahu isinya apa) merupakan novel tasawuf. “Dunia barat boleh punya Jostein Gaarder dengan ‘Dunia Sophie’-nya tapi dunia pesantren punya Gus Can dengan ‘Layla’-nya,” kata sang moderator. Saya cukup takjub, karena buku Dunia Sophie ini lumayan terkenal dan juga membuat saya bertanya-tanya apakah membandingkan kedua buku tersebut merupakan perbandingan yang apple to apple, mengingat Gus Can beragama Islam dan Jostein Gaarder tidak. Yha. (Takbeeer!)

Sepertinya manusia tidak bisa hanya menjadi manusia saja. Harus ada labelnya ternyata. 

Anyway, di antara berbagai kalimat yang diucapkan sekian orang-orang hebat di atas panggung tadi, ada bagian yang membekas di pikiran saya, yaitu ketika Whanni Darmawan membacakan chapter pertama novel tersebut yang berisikan percakapan antara Lail dan gurunya. Dalam kebingungan permanen yang disebabkan oleh tingkat tasawuf yang tinggi dan kemampuan otak saya yang medioker, betapa ajaibnya bahwa saya masih bisa mengingat bagian di mana sang guru menceritakan tentang Nabi Muhammad dan wahyu pertamanya di Gua Hiro. Berulang-ulang Jibril memerintahkan Nabi Muhammad untuk membaca yang mana akhirnya menghadirkan surat Al-Alaq, cikal bakal anjuran yang dipakai sebagai dalil sejagad menuntut ilmu.

Namun, perintah membaca tersebut hadir dengan tidak ada wujud ‘yang dibaca’ sama sekali. Diriwayatkan bahwa tidak ada sama sekali perkamen, kitab, atau apapun yang dapat dijadikan objek dari perintah ‘bacalah’. Maka apakah perintah tersebut berkaitan dengan sesuatu yang ghaib? Beyond limit? Wallahu a’alam.

Hal yang memancing ketertarikan saya adalah fakta umum, seperti yang dijelaskan dalam buku Layla tersebut, bahwa Nabi Muhammad adalah nabi yang ummiy. Makna ummiy secara awam adalah seseorang yang buta huruf, namun bisa dicermati bahwa Nabi Muhammad adalah manusia dari kaum Arab yang tidak pernah membaca kitab-kitab sebelumnya. Nabi Muhammad bukannya tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis. Ia tidak perlu membaca atau menulis. Rasulullah bukanlah manusia biasa, maka pengetahuan yang didapat olehnya juga tidak diberikan dengan cara yang biasa.

Ummiy ini merupakan suatu nilai penting dalam bukti kerasulan Nabi Muhammad, karena ummiy merupakan bukti kemurnian akal. Karena Nabi Muhammad yang ummiy adalah bukti kehambaan total seorang manusia yang belum dinodai oleh pemikiran manusia lainnya. Karena Nabi Muhammad yang ummiy adalah bukti objektifitas paling tinggi akan penerimaan wahyu dari langit.
Hal ini benar-benar membekas bagi saya, mengingat saya hidup dan dikelilingi oleh berbagai opini subjektif. Subjektivitas yang tampak maupun tidak. Bahkan saya adalah subjek. Bahkan saya menulis tulisan ini menggunakan subjektivitas opini dan framing dari diri saya sendiri.

Nah loh, maka apakah objektif itu ada? Atau tiada?

Tapi mengapa disebut kalau tiada?

Sudahlah, mari pusing bersama.

Sabtu, 06 Mei 2017

Mereka Bilang

Mereka bilang kita baik bersama.
Menjaga seadanya namun tetap dengan tawamu yang  bisa kupuja sesukanya.

Mereka  bilang kita baik bersama.
Dahaga yang hanya denganmu lah hilangnya. Bersisian, penuh ekpektasi dan tendensi. Kau dengan entah apa inginmu, ku dengan lubang yang menganga di tengah hati. Hangus dan masih berasap.

Mereka bilang kita baik bersama.
Namun rasanya ini terlalu mulus seakan palsu, kau tahu? Terlalu banyak intensi yang bermain, dan aku yang terlalu banyak berpikir.

Mereka bilang kita baik bersama.
Namun sejak dulu cinta membuatku jatuh, sengaja atau tidak sengaja, dan denganmu, aku ada di ujung tebing. Tak didorong, namun tak jua ingin melompat. Terombang-ambing angan dan kecewa. Bermimpi namun sudah menggenggam kecewa yang masih mewujud hampa.

Mereka bilang kita baik bersama.
Tapi aku bilang aku tak baik untukmu. Tapi kau bilang entah apa tentangku. Tapi kita tak pernah menyatakan apa-apa dan bahkan tak tahu ada di mana. Atau mungkin memang tak mau tahu.

Mereka bilang kita baik bersama.
Namun, jika itu masih "mereka", bukan "kau" dan "aku", "kita" kah itu namanya?

Kamis, 04 Mei 2017

We Are

The worst part is,
I am nowhere near your true self,
And you are nowhere near my true self.
People change, but we don't.
You are still a boy, trapped in figure of a man, making promis higher than yourself.
I'm still a girl, trapped in a figure of a woman. Recklessly playing a role of the hero when I can't even save myself.
We are just two people with too much burden in the heart.
While our body are hopelessly full of bruises and wounds.

Rabu, 03 Mei 2017

Makin Lapuk

Makin layu dan melilitkan diri seperti benalu
Tak menyangka bahwa menghindarimu akan jadi semelelahkan itu

Makin tidak berkualitas karena tersumbat dan terkuras

Selasa, 02 Mei 2017

Pisuhan & Doa

Segala pisuh bagi beliau yang maha (merasa paling) benar dan maha demanding.

Ya Rabb mohon ampun tapi kok ya hamba-Mu yang satu itu sangat menguji iman.

Senin, 01 Mei 2017

Kantuk

Di sela-sela anggukan kepala dalam usaha kerasnya melawan gravitasi,
di tengah-tengah kerlipan mata dalam upaya mati-matian untuk menyegarkan diri,
di antara helaan napas dan tangan yang makin lemah untuk mengangkat dirinya sendiri,
izinkan saya untuk mereparasi diri sejenak.
Karena rusak itu menyusahkan, dan kesusahan itu menyebalkan.
Izinkan saya untuk mereparasi diri sejenak,
dengan dengkur lelap dan kesadaran yang menguap.

Intinya ngantuk, wes iku thok.