Ternyata buku Layla (yang belum saya beli bahkan
saya baca bahkan saya tidak tahu isinya apa) merupakan novel tasawuf. “Dunia barat
boleh punya Jostein Gaarder dengan ‘Dunia Sophie’-nya tapi dunia pesantren punya
Gus Can dengan ‘Layla’-nya,” kata sang moderator. Saya cukup takjub, karena
buku Dunia Sophie ini lumayan terkenal dan juga membuat saya bertanya-tanya apakah
membandingkan kedua buku tersebut merupakan perbandingan yang apple to apple,
mengingat Gus Can beragama Islam dan Jostein Gaarder tidak. Yha. (Takbeeer!)
Sepertinya manusia tidak bisa hanya menjadi manusia saja. Harus ada labelnya ternyata.
Anyway, di antara berbagai kalimat yang diucapkan sekian orang-orang hebat di atas panggung tadi, ada bagian yang membekas di pikiran saya, yaitu ketika Whanni Darmawan membacakan chapter pertama novel tersebut yang berisikan percakapan antara Lail dan gurunya. Dalam kebingungan permanen yang disebabkan oleh tingkat tasawuf yang tinggi dan kemampuan otak saya yang medioker, betapa ajaibnya bahwa saya masih bisa mengingat bagian di mana sang guru menceritakan tentang Nabi Muhammad dan wahyu pertamanya di Gua Hiro. Berulang-ulang Jibril memerintahkan Nabi Muhammad untuk membaca yang mana akhirnya menghadirkan surat Al-Alaq, cikal bakal anjuran yang dipakai sebagai dalil sejagad menuntut ilmu.
Sepertinya manusia tidak bisa hanya menjadi manusia saja. Harus ada labelnya ternyata.
Anyway, di antara berbagai kalimat yang diucapkan sekian orang-orang hebat di atas panggung tadi, ada bagian yang membekas di pikiran saya, yaitu ketika Whanni Darmawan membacakan chapter pertama novel tersebut yang berisikan percakapan antara Lail dan gurunya. Dalam kebingungan permanen yang disebabkan oleh tingkat tasawuf yang tinggi dan kemampuan otak saya yang medioker, betapa ajaibnya bahwa saya masih bisa mengingat bagian di mana sang guru menceritakan tentang Nabi Muhammad dan wahyu pertamanya di Gua Hiro. Berulang-ulang Jibril memerintahkan Nabi Muhammad untuk membaca yang mana akhirnya menghadirkan surat Al-Alaq, cikal bakal anjuran yang dipakai sebagai dalil sejagad menuntut ilmu.
Namun, perintah membaca tersebut hadir dengan tidak ada wujud ‘yang dibaca’ sama sekali. Diriwayatkan bahwa tidak ada sama sekali perkamen, kitab, atau apapun yang dapat dijadikan objek dari perintah ‘bacalah’. Maka apakah perintah tersebut berkaitan dengan sesuatu yang ghaib? Beyond limit? Wallahu a’alam.
Hal yang memancing ketertarikan saya adalah fakta umum, seperti yang dijelaskan dalam buku Layla tersebut, bahwa Nabi Muhammad adalah nabi yang ummiy. Makna ummiy secara awam adalah seseorang yang buta huruf, namun bisa dicermati bahwa Nabi Muhammad adalah manusia dari kaum Arab yang tidak pernah membaca kitab-kitab sebelumnya. Nabi Muhammad bukannya tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis. Ia tidak perlu membaca atau menulis. Rasulullah bukanlah manusia biasa, maka pengetahuan yang didapat olehnya juga tidak diberikan dengan cara yang biasa.
Ummiy ini merupakan suatu nilai penting dalam bukti kerasulan Nabi Muhammad, karena ummiy merupakan bukti kemurnian akal. Karena Nabi Muhammad yang ummiy adalah bukti kehambaan total seorang manusia yang belum dinodai oleh pemikiran manusia lainnya. Karena Nabi Muhammad yang ummiy adalah bukti objektifitas paling tinggi akan penerimaan wahyu dari langit.
Hal ini benar-benar membekas bagi saya, mengingat saya
hidup dan dikelilingi oleh berbagai opini subjektif. Subjektivitas yang tampak maupun tidak. Bahkan saya adalah subjek. Bahkan saya
menulis tulisan ini menggunakan subjektivitas opini dan framing dari diri saya
sendiri.
Nah loh, maka apakah objektif itu ada? Atau tiada?
Tapi mengapa disebut kalau tiada?
Sudahlah, mari pusing bersama.
Nah loh, maka apakah objektif itu ada? Atau tiada?
Tapi mengapa disebut kalau tiada?
Sudahlah, mari pusing bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar