Rabu, 31 Oktober 2018

Banser dan Prasangka Saya

Saya sejujurnya tidak pernah menyukai Banser.

Saat kemarin saya mendengar kasus bakar-bakar bendera yang sudah jelas-jelas cuma simbol saya sebenarnya langsung suudzon sama Banser. Saking parahnya suudzon saya, saya sempat mengira bahwa bendera itu “sengaja” dihadirkan untuk dibakar. Untungnya saya selalu diajarkan untuk ber-tabayyun. Bagaimanapun, dalam setiap hal, kita sudah punya draft moral sendiri-sendiri yang mengatur kita untuk memiliki kecenderungan sejak lahir, tapi tentu hal itu tidak seharusnya menihilkan usaha kita untuk mengecek kebenaran karena itu adalah kewajiban bagi kita yang seharusnya senantiasa berpikir.

Maka setelah klarifikasi bermunculan di mana-mana, akhirnya saya berusaha menyesuaikan fakta yang ada dengan persepsi saya yang sejak awal memang sudah negatif. Hanya Tuhan yang tahu apa niat anggota Banser itu sebenarnya tapi standing point saya tetap sama: kasus pembakaran itu memang reaksi dari ngeyelnya HTI yang masih saja sibuk cari perhatian saat Hari Santri, tapi memviralkannya sehingga membuat kegaduhan tentu bukan solusi. Percayalah, tidak semua tindakan kita akan dianggap heroik oleh semua orang.

Itulah. Militer, paramiliter, semi-militer, apalah itu bagi saya selalu sama bentuknya. Mengutip Zen RS, gerakan militer akan selalu akrab dengan retorika kekerasan dan hierarki, akan selalu identik dengan kekuasaan dan ambisi. Siapa yang paling mematuhi perintah? Saya! Siapa yang paling menaati komando? Saya! Siapa yang paling disiplin? Saya! Semua serba heroisme. Penggunaan massa demi tujuan yang diamini oleh banyak orang sehingga menjadi “mulia”.

Frekuensi saya mengangkat alis jadi lebih sering saat Banser mulai bersikap aktif dari pada reaktif. Terutama saat Banser mulai membubarkan menolak isi pengajian dengan alasan membela NKRI. Kenapa bukan LDNU yang bergerak? Lawanlah narasi dengan narasi, bukan provokasi. Semua ada tahapannya, dan Banser harusnya ditempatkan di tahap terakhir saat pihak yang diajak bicara sudah tidak bisa diajak kompromi, bukan diajak sejak awal negosiasi dengan niat terselubung untuk mengintimidasi. Bicara begini apakah saya sang juru pendamai anti kekerasan pecinta Mahatma Gandhi? Tentu tidak, saya tidak naif. Saya hanya pecinta strategi. Konsistensi adalah kunci, dan kita tentu tidak akan bisa menjual perdamaian dengan menggandeng massa yang siap perang ke mana-mana.

Ya, sebegitu geting nya saya sama Banser sampai akhirnya... saya melihat kiriman ini di Twitter.


Saya menangis. Siapa sih saya ini sampai merasa berhak menilai niat dan tujuan seseorang? Merasa berhak untuk menentukan maksud dan motivasi seseorang? Merasa berhak merendahkan seseorang? Dibalik semua cacian dan sumpah serapah yang saya pernah sampaikan dalam hati karena kejengkelan saya, ada bapak-bapak yang rela membawa anaknya ke mana-mana demi cintanya pada NU dan Indonesia. Dibalik argumen sok pintar saya, ada pemuda yang rela berdesak-desakan didorong orang demi melindungi para kyai. Dibalik persepsi negatif saya, ada mereka yang dengan setia menjaga tempat ibadah karena senantiasa memimpikan suatu waktu di mana semua manusia bebas berdoa kepada Tuhannya tanpa rasa takut. Tangan yang menjahit jauh lebih baik daripada tangan yang berdoa. Banser dalam kesehariannya sudah menjahit perlindungan dan rela berlelah-lelah demi umat sedangkan saya cuma bisa sambat.

Maka terkutuklah saya yang diberkahi akal lalu menjadi tidak manusiawi karena dikoyak-koyak prasangka, terkutuklah mereka yang diberi kuasa tetapi menindas bawahannya, terkutuklah mereka yang dipuja tapi tidak pernah sedikitpun menghargai yang memujanya.

Hati-hati, Kawan. Privilise adalah sebenar-benarnya ujian.

Selasa, 16 Oktober 2018

Permintaan

Aku berdarah bermalam-malam
Mengerami gumpalan, kubelah satu-satu
Pekat, penuh dosa dan pertanyaan
Aku bertahan hidup dengan menikam rasa
Tumbuhnya kutebas, akarnya kucabut
Waktu mengajarkanku memilah guna demi hidup
Tak kubiarkan menetap jika tak menghidupi, tak akan kupelihara jika menyengsarakan
Tapi tawa-Nya di mana-mana, lelucon-Nya tak ada duanya
Sesuka hati-Nya mengubah letak pintu hati umat-Nya
"Tidak perlu dipahami," dengan entengnya Dia berbicara
Kesalnya minta ampun.
Argh, sekalian saja lah, kau tahu karpet?
Tiap hari ku menyapu debu, kotoran dan juga puing harapan
Mendiamkannya di bawah lapisan, lalu tidur di atasnya dengan tentram
Tapi kau terlalu besar untuk kusapu, terlalu tajam untuk menjadi alas tidurku
Malam-malamku jadi nyeri, menahan sakit dan dingin karena terlalu terbuka
Sialnya, aku malah terlalu nyaman. :)
Sekarang begini saja
Demi hidupmu yang pasti akan sentosa tanpa aku, bolehkah aku meminta?
Tolong buat dirimu tidak berguna
Aku tidak mau jatuh cinta.

Yogyakarta, 16 Oktober 2018.

Minggu, 14 Oktober 2018

I Think I Know Myself Then Turns Out I Don't

It feels like whenever I feel sad, I'm always distracted to something else. My surroundings don't even allow myself to feel the sadness wholeheartedly and comprehend the situation. This after this, then that, then back to this, the next is that; even the smallest matter can distract myself from feeling my own sadness. Even the smallest thing can make me feel excited and exhausted. I am overwhelmed by so many feelings I started feeling numb. No, I don't think numb is a right word. I feel like a robot with so many buttons of feelings. Push that, then I'm gonna smile until my cheeks hurt. Press that, then I'm gonna scream with a raging storm within. I feel so many things all at once. I am so easily distracted that I can't control my own capability to feel the emotions.
But the sadness waits. It waits and silently gathers the ammunition to take revenge. It waits while multiplying themselves, layer per layer, taking so much space. They feel enough being ignored. They wait and arrange the strategy with one objective: to make me grieve.
I am so afraid.
I am so scared of myself.