Jumat, 09 November 2018

Hasan Minhaj, Patriot Act, and Why It's Important To Start Speaking Up About Our Opinion

Hey yours truly here got a new fangirling object: Hasan Minhaj.

Yaa, akhir-akhir ini saya jadi rutin menunggu Hasan Minhaj di Patriot Act setiap minggu, disambi menonton interview-nya, atau video Instagram-nya dengan anaknya, atau video-nya dengan Tan France hampir saya hapal saking seringnya saya ulang-ulang.

So who’s this guy anyway? Who’s Hasan Minhaj?

Jadi Hasan Minhaj adalah seorang komedian, penulis, dan host asal Amerika, eventho his family is orinally an immigrant from India. Ia memulai karirnya jadi komedian sejak 2008, dan mulai terkenal ketika dia gabung di The Daily Show sebagai koresponden senior, dan saat dia jadi host di White House Correspondents’ Dinner (semacam acara gala-dinner yang diadakan oleh asosiasi jurnalis yang khusus meng-cover topik White House dan Presiden USA) di tahun 2017. At that time, he relentlessly roasted Donald Trump, it was that funny and on point so many people complimented him for being that brave.

Nah saya mulai ngikutin orang ini (???) sejak Netflix gencar promosiin Patriot Act With Hasan Minhaj, semacam variety show mingguan, pertunjukan tunggal Hasan Minhaj yang bicara banyak tentang politik dan budaya kontemporer, tapi tetap dengan unsur komedi. And seriously man, the show is THAT GOOD. Ini baru 3 episode lho, tapi sebagus itu narasinya. Di episode pertama, topik yang dia bicarakan adalah tentang Affirmative Action, yang berdasar pada kasus Universitas Harvard yang kena tuntutan karena dirasa melakukan diskriminasi untuk mekanisme penerimaan mahasiswanya. Di episode kedua, dia bicara tentang Arab Saudi, lengkap kap kap dari kasus Jamal Kasshogi sampai kontroversi pangeran Muhammad Bin Salman. Di episode ketiga, dia nge-break down Amazon, the biggest e-commerce in US, beserta segala praktis bisnisnya yang bikin gedek-gedek kepala. Hal yang bikin saya suka banget sama show ini adalah materi Hasan Minhaj yang akurat karena based on data, presentasinya yang tek tek tek (paham gak sih maksudku? berurutan dan jelas gitu), and the most important, his signature comical story-telling itu yang bikin jatuh cinta karena dia bikin materi dan argumentasinya jauuuuuhhhh lebih mudah dipahami. Seriously, if Hasan Minhaj was my only teacher, I would get A for every subject.

Namun selain itu, ada hal yang menarik, yaitu saat di segmen Deep Cuts, segmen di mana dia menjawab pertanyaan penonton, ada yang bertanya tentang alasan kenapa dia akhirnya memutuskan untuk membuat acara Patriot Act ini, which he answered brilliantly. Hasan bercerita saat Ia masih di The Daily Show, Ia mengikuti konvensi partai Republik (Donald Trump) dan Demokrat (Hillary Clinton) untuk liputan pemilu. Dia cerita bagaimana kondisi di konvensi Partai Republik ("It was like the racist comic-con" 😆) dan suatu momen penting di konvensi Partai Demokrat yang membuat Ia “terpelatuk”:

He's (Bill Clinton, suaminya Hillary Clinton) doing this thing, and then he goes to his go-to moves. A lot of politicians do this, where he's just like, "Hey I'm gonna talk to all the different minority voters, this is the one time of year I talk to 'em." He's just like, "African-american people, you matter!" and everyone there, "oh yeah we do, this is our choice." And he's like, "Mexicans, I'm good right?" and everyone's like, "Alright yeah sure!" and then I remember he's like, "Muslims! yeah you guys are here, Muslim-American! Hey, stay here. Stay here, help us find the terrorists, help us win," and everyone around me, they started full-on applause break... And I remember standing there and being like, Bill, I hate to tell you this: I don't know any terrorist. I'm not terrorist the bounty hunter, I'm not just like, come out with blade, "I'm here to catch Al-Qaeda!" You know, he thought our only value was to help find terrorists, right? And so it was one of those things were thought about it for a long time, and I was like, oh I could write an angry internet post about this or –you  know I learned this from my dad, I'm more in the in you know in the business of playing offense look, I'm not gonna get my humanity from Bill fucking Clinton. He's just not gonna get it, I'm an alien, as far as he doesn't get, he will never understand where I'm coming from, my POV, the things my community have had to go through. We have to claim that shit on our terms so I just started working on this show, Patriot Act. And I was like, I'm gonna do it, I'm gonna show my perspective of how what it's like to be an American.

Hal tersebut sangat menarik, bagaimana saat Bill Clinton bilang “Help us find the terrorist, help us win,” membuat Hasan merasa bahwa di mata Bill Clinton (dan untuk Partai Demokrat mungkin), nilai satu-satunya orang Muslim Amerika  adalah untuk membantu mereka membasmi teroris. Ia mengatakan bahwa Ia bisa saja menulis artikel atau kiriman penuh kemarahan akan hal itu, tapi Ia menyadari bahwa sejak awal, posisi dan perspektif antara Ia dan Bill Clinton sudah berbeda. Bagaimana pun kerasnya Hasan mendebat Bill Clinton, hal itu akan sia-sia karena Bill sendiri tidak memahami pemikiran, sudut pandang, atau apa saja yang sudah Hasan (dan komunitas Muslim lainnya) sudah lalui. Maka akhirnya Ia memutuskan untuk membuat suatu ruang sendiri di mana Ia bisa berbicara bebas tentang pandangan dan perspektifnya, di mana Ia bisa mengklaim realitas dan membantah stereotip yang ada, di mana Ia bisa menunjukkan nilai-nilai identitasnya selain “untuk membantu membasmi teroris”. That’s Patriot Act.

Dari hal tersebut kita bisa belajar satu hal: You may can’t change one person, but you always can change the other. Ada kalanya kita tidak bisa terus-terusan menuntut orang untuk memahami kita karena bagaimanapun tiap-tiap orang memiliki perspektif dan kecenderungan masing-masing. Alih-alih bersikap manja dan mutungan karena terus-terusan tak dipahami, kita bisa membuka ruang dialog baru, mulai berbicara dan mengutarakan pandangan alternatif dan argumen (yang tentu berdasarkan fakta dan data) mengapa kita memilih A, bagaimana pendapat kita mengenai B atau mengapa kita bersikap C. Saat seseorang begitu yakin mengatakan bahwa kita adalah A, padahal sebenarnya kita adalah B, yang seharusnya kita lakukan bukan hanya menyalahkan orang itu, tetapi menyampaikan kebenaran kepada pendengarnya. Saat kita kesal saat seseorang yang tidak memahami kondisi kita berbicara suatu hal yang negatif tentang kita, siapa lagi yang akan memahamkan orang lain bahwa hal itu salah selain kita sendiri?

Trying hard to change the mind of unenlightened, determined people will take too much of our time and energy, so let’s be focus on telling our opinion to the floating mass, and let them decide. That’s how we clarify, that's how we telling people the truth, by countering narration with narration.


Kamis, 08 November 2018

Ternyata Papa Masih di Sini

Maaf, ingin nyampah dengan bercerita.

Setiap saya pulang, ada satu ritual yang tidak pernah saya lewatkan: menggratak isi rumah. Saya bongkar laci-laci, melihat kembali foto-foto lama. Membongkar kabinet dan lemari. Membuka lembar demi lembar buku diary saat SD (a.k.a. buku tulis Sinar Dunia). Membaca curhatan seorang Dewi Rosfalianti yang menangis setelah nonton drama Taiwan Magician of Love karena tamat ceritanya ("AkHirnya taMat cERitanYa, aq seDiiiiih, keNapa sih nGGak saMa RiChiE aja aKHhirnya??" Oh well, ternyata saya memang pemuja second-male-lead sejak masih kinyis), atau seorang Dewi Rosfalianti yang marah besar karena komik-komiknya disita sebelum ujian ("keNaPA sih aQ haRUs ngADePin sEMua iNi? PapA pasStii nGgak saYAnk saMa aq, kLo saYANk kan mEstiNyA PapA nGErti aQ buTUh KaKAshi").

Lalu kini selama 3 tahun terakhir, ada ritual baru yang selalu saya lakukan: membereskan buku-buku dan dokumen Papa saya. Sejak beliau meninggal 3 tahun lalu, hanya saya orang rumah yang bolak balik membuka lemari buku, mencari-cari bacaan, atau sekedar merapikan barisan buku yang terlalu menjorok ke dalam. Anehnya, dalam proses ritual itu, saya selalu menemukan hal baru tentang beliau, menemukan pemahaman lebih jauh tentang beliau. Di setiap judul-judul buku yang ada, atau lembaran kliping berita yang Ia tulis di koran, tertuang gagasan dan segenap pemikiran, lelehan cairan otak dan kearifan, sisi lain Papa saya yang sayangnya tidak saya "eksploitasi" habis-habisan semasa beliau hidup.

Saya masih ingat jelas, beberapa bulan sebelum beliau meninggal, saat beliau berjuang dalam sakitnya, frekuensi Ia berbicara tentang kematian semakin sering. Di tengah-tengah perjalanan bolak-balik Jogja-Jakarta, saya sejujurnya sudah menyiapkan diri. Menyiapkan diri jika ditinggalkan, menyiapkan diri menopang Ibu dan adik saya, merencanakan, mengantisipasi. But it's true what people said: You can always be prepared for what will come, but you'll never be ready for how it feels. Sakitnya masih sama, bahkan hingga sekarang, 3 tahun kemudian.

Penyesalan selalu datang di akhir. Kenapa saya tidak pernah berbicara banyak dengan Papa sebelumnya? Kenapa saya tidak pernah diskusi panjang lebar dengan Papa? Kenapa saya cenderung menutup diri? Saya sempat berpikir dulu Ia jahat karena meninggalkan saya begitu saja tanpa pernah menyampaikan pesan, atau sekedar ucapan selamat tinggal agar setidaknya saya bisa memahami dengan baik. Tapi ternyata saya yang jahat, karena pelan-pelan menjauh, menutup diri dan menganggap beliau hanya sebagai seorang ayah, bukan teman bicara, bukan sahabat yang selalu mengerti diri saya. Penyesalan itu selalu muncul. Saat saya sedang berjuang di satu titik, atau mencoba hal yang baru, pikiran itu selalu melintas.

"Pa, Efha udah sampai di sini lho, tapi Papa nggak ada."

Tapi sekarang, saat saya membongkar buku-buku milik beliau, melihat-lihat catatannya, saya merasa menemukan Papa saya kembali. Saya lalu sadar, bahwa beliau tidak pernah meninggalkan saya sejak awal. Beliau selalu ada bersama buku-bukunya, bersama tulisan-tulisannya, bersama cerita-cerita orang tentangnya. Saya selalu bersyukur, bahwa setiap saya pulang, membawa berbagai pertanyaan dan kepusingan hidup, Ia akan tetap ada untuk menjawab itu semua. Ia akan tetap ada di mana saya bisa terus menemuinya lagi dan lagi.

Maka bagi teman-teman yang masih ditemani oleh orang-orang tercintanya, ajaklah mereka berbicara. Tanyakan kabarnya dan tanyakan hari-harinya. Bercerita lah walaupun kita tahu kita tidak dapat solusi. Syukuri keberadaannya, nikmati kebaikannya. Never take people in your life for granted, because sometimes the trouble is we think we have time.

Senin, 05 November 2018

[Semacam Review] Blinded by The Peaky Blinders: Why I Love This Series That Much

Beberapa hari yang lalu, saya menamatkan series yang berjudul Peaky Blinders. Berlatar belakang di kota kecil Small Heath, Birmingham, series ini bercerita tentang keluarga gangster Peaky Blinders dengan bisnis judi pacuan kuda yang dipimpin oleh the one and only Thomas Shelby, anak kedua keluarga Shelby yang juga mengidap PTSD (post traumatic stress disorder) pasca keterlibatannya di perang dunia pertama. Why "Peaky Blinders"? They got razor blades sewn in the peak of their caps that usually used to “blind” their enemies (by slicing their eyes), as a symbol of their conqueror.


Cerita pada season 1 bermula saat Tommy Shelby dan anak buahnya "tidak sengaja" merampok kotak-kotak berisi puluhan senjata dan ratusan amunisi milik pemerintah. Inggris saat itu sedang dilanda perang dingin pasca WWI dengan gerakan komunis dan gerakan separatis IRA. Jika kepemilikan senjata itu diketahui pihak-pihak tersebut, tentu akan membahayakan posisi Inggris. But yeah, being the cunning man that he is, instead of giving them back to the government, Tommy Shelby hid the weapons as a bargain. Sampai polisi khusus didatangkan dari Belfast untuk menyelidiki di mana Tommy menyembunyikan senjata-senjata itu.


This is one hell of a show. Sampai season ke-4, series ini kebanyakan bercerita tentang ekspansi keluarga Shelby dan bagaimana Tommy Shelby menjadi otak dari setiap penaklukkan, negosiasi dan balas dendam. Maaan, this series is full of classy violence and brilliant crimes. I loooove this show so much it hurts. Selain karena penampilan si Tommy Shelby a.k.a Cillian Murphy yang rahangnya bisa buat ngiris mangga saking alusnya (I’m so shallow I know), saya pribadi suka sekali kisah anti-hero macam Peaky Blinders ini. Kecenderungan saya yang menyukai tokoh villain alias penjahat  selalu membuat saya mencari-cari show atau film dengan tokoh protagonis yang “mempunyai” masalah moral disengagement. Kenapa? Entahlah. Mungkin karena saya sudah muak dengan karakter hitam putih absolut yang selalu menempatkan orang baik sebagai protagonis dan orang jahat sebagai antagonis. Instead of getting rid of their inner demons, these anti-hero characters willingly negotiate with them, accepting the darkness as the part of themselves. Tidak ada orang yang sebenar-benarnya baik tanpa cela dan tidak ada juga orang yang sebenar-benarnya jahat tanpa harapan. Ketidaksempurnaan itu melegakan. I love fiction that perfectly depicts reality.


This series is such a masterpiece. Sinematografinya mantep pisan, plotnya padat dan nggak bertele-tele, dan script-nya... hhhh... I’m lost for words but Steven Knight, I LOVE YOU! Saya suka banget bagaimana Steven Knight menggambarkan apa adanya konteks Birmingham (dan Inggris secara keseluruhan) pada masa itu di series ini, termasuk dimensi sosial-politik dan juga perang ideologinya. Konflik di antara lingkaran setan pemerintah-pemberontak-penjahat menjadi bumbu utama series ini. Istilah “All is fair in love and war” benar-benar bukan omong kosong. Tidak ada polarisasi dan dikotomi baik-buruk atau benar-salah, karena semuanya tentang kepentingan dan penawaran tertinggi. This series reflects how this world works, and there are so many things to learn!


Maka, setelah nonton 4 season secara mutawatir (jarang lho seorang Dewi Rosfalianti nonton series ampe tamat, I’m kinda proud of myself) I declare that this series is hella recommended.


Daaamn. It’s Tommy Shelby. It’s always THE Tommy Shelby.

Minggu, 04 November 2018

Jawaban Lama (dan Ternyata Masih Sama) Tentang Tuhan


So over a year ago, my friend asked me a question:

Jika saat ini kamu memiliki kepercayaan terhadap Tuhan, pernahkah di masa lalu kamu meragukan eksistensi-Nya? Dan bagaimana insight kamu sekarang mengenai Tuhan? Please kindly share your perspective! 

And this was my answer. The answer that is still relevant until now:

Pernah. I doubt His existence when I feel like I adore him the way society wish I would. I've been living in islamic boarding school since junior high school, with those strict conditions and regulations that insisted me to be those "akhwat dengan jaminan masuk surga". Then I think, "apakah jadi hamba Tuhan harus seperti itu?" Akhirnya gue ngerasa cuma kaya robot. Ngelakuin sholat dan ibadah lainnya karena alasan "gue muslim, apa kata dunia klo gue nggak sholat?". Konsep lillahita'ala berasa utopis banget buat gue.

Lalu ada suatu peristiwa, call it my breaking point, yang mulai mengubah pemahaman gue tentang Tuhan. Saat itu gue hancur, sehancur-sehancurnya, lalu gue sholat. Then I felt 'that'. That euphoria of the serenity. Ketenangan yang orang-orang beruntung itu bicarakan. Those magical moment when you realize that there is something beyond. Lalu gue sampe titik keyakinan bahwa Dia ada. Tapi baru sampe situ. Masih ancur-ancuran juga ibadah gue sebenernya.

You know Hozier's "Take Me To Church" song? That song is one of many songs that made me think further about God (Okay it's ironic, I know, untuk dekat sama Tuhan sendiri aja harus pake lagu yang isunya memakai agama lain. But I believe this world is home for countless messages from God. Kita bisa kenal Tuhan dari mana pun, lewat apapun). Lirik lagu itu ada yang kaya gini, "I'll worship like a dog at the shrine of your lies. I'll tell you my sins so you can sharpen your knives." That lyric kinda hits me. Apakah gue udah menyembah Tuhan sepasrah itu? Apakah gue udah mencintai Tuhan setotal itu? Malu semalu-malunya. Walaupun konsep ibadah gue rada jauh dari konsep pengorbanan besar-besaran kaya gitu, tapi tetep aja gue ngerasa belum total. Jangankan total, seperseratusnya aja gue belom.

Lalu gue sadar, gue harus terus terus dan terus belajar untuk sampai di titik itu. Karena sebejat-bejatnya temen lo ini, konsep itu rasanya indah banget buat gue. Ibadah bukan karena diawasi atau dilihat orang, tapi karena gue emang pengen, dan butuh. Ikhlas dan Ihsan.

Takwa itu susahnya minta ampun, tapi gue mau, makanya ibadah itu proses.

My friend said to me once, "Kita tidak akan bisa mengenal Tuhan tanpa mengenal diri kita sendiri." And I feel content by the fact that now, when I'm looking back at my past, He was there. Now, He is there. Later, He will always be there.