Maaf, ingin nyampah dengan bercerita.
Setiap saya pulang, ada satu ritual yang tidak pernah saya lewatkan: menggratak isi rumah. Saya bongkar laci-laci, melihat kembali foto-foto lama. Membongkar kabinet dan lemari. Membuka lembar demi lembar buku diary saat SD (a.k.a. buku tulis Sinar Dunia). Membaca curhatan seorang Dewi Rosfalianti yang menangis setelah nonton drama Taiwan Magician of Love karena tamat ceritanya ("AkHirnya taMat cERitanYa, aq seDiiiiih, keNapa sih nGGak saMa RiChiE aja aKHhirnya??" Oh well, ternyata saya memang pemuja second-male-lead sejak masih kinyis), atau seorang Dewi Rosfalianti yang marah besar karena komik-komiknya disita sebelum ujian ("keNaPA sih aQ haRUs ngADePin sEMua iNi? PapA pasStii nGgak saYAnk saMa aq, kLo saYANk kan mEstiNyA PapA nGErti aQ buTUh KaKAshi").
Lalu kini selama 3 tahun terakhir, ada ritual baru yang selalu saya lakukan: membereskan buku-buku dan dokumen Papa saya. Sejak beliau meninggal 3 tahun lalu, hanya saya orang rumah yang bolak balik membuka lemari buku, mencari-cari bacaan, atau sekedar merapikan barisan buku yang terlalu menjorok ke dalam. Anehnya, dalam proses ritual itu, saya selalu menemukan hal baru tentang beliau, menemukan pemahaman lebih jauh tentang beliau. Di setiap judul-judul buku yang ada, atau lembaran kliping berita yang Ia tulis di koran, tertuang gagasan dan segenap pemikiran, lelehan cairan otak dan kearifan, sisi lain Papa saya yang sayangnya tidak saya "eksploitasi" habis-habisan semasa beliau hidup.
Saya masih ingat jelas, beberapa bulan sebelum beliau meninggal, saat beliau berjuang dalam sakitnya, frekuensi Ia berbicara tentang kematian semakin sering. Di tengah-tengah perjalanan bolak-balik Jogja-Jakarta, saya sejujurnya sudah menyiapkan diri. Menyiapkan diri jika ditinggalkan, menyiapkan diri menopang Ibu dan adik saya, merencanakan, mengantisipasi. But it's true what people said: You can always be prepared for what will come, but you'll never be ready for how it feels. Sakitnya masih sama, bahkan hingga sekarang, 3 tahun kemudian.
Penyesalan selalu datang di akhir. Kenapa saya tidak pernah berbicara banyak dengan Papa sebelumnya? Kenapa saya tidak pernah diskusi panjang lebar dengan Papa? Kenapa saya cenderung menutup diri? Saya sempat berpikir dulu Ia jahat karena meninggalkan saya begitu saja tanpa pernah menyampaikan pesan, atau sekedar ucapan selamat tinggal agar setidaknya saya bisa memahami dengan baik. Tapi ternyata saya yang jahat, karena pelan-pelan menjauh, menutup diri dan menganggap beliau hanya sebagai seorang ayah, bukan teman bicara, bukan sahabat yang selalu mengerti diri saya. Penyesalan itu selalu muncul. Saat saya sedang berjuang di satu titik, atau mencoba hal yang baru, pikiran itu selalu melintas.
"Pa, Efha udah sampai di sini lho, tapi Papa nggak ada."
Tapi sekarang, saat saya membongkar buku-buku milik beliau, melihat-lihat catatannya, saya merasa menemukan Papa saya kembali. Saya lalu sadar, bahwa beliau tidak pernah meninggalkan saya sejak awal. Beliau selalu ada bersama buku-bukunya, bersama tulisan-tulisannya, bersama cerita-cerita orang tentangnya. Saya selalu bersyukur, bahwa setiap saya pulang, membawa berbagai pertanyaan dan kepusingan hidup, Ia akan tetap ada untuk menjawab itu semua. Ia akan tetap ada di mana saya bisa terus menemuinya lagi dan lagi.
Maka bagi teman-teman yang masih ditemani oleh orang-orang tercintanya, ajaklah mereka berbicara. Tanyakan kabarnya dan tanyakan hari-harinya. Bercerita lah walaupun kita tahu kita tidak dapat solusi. Syukuri keberadaannya, nikmati kebaikannya. Never take people in your life for granted, because sometimes the trouble is we think we have time.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar