Senin, 05 November 2018

[Semacam Review] Blinded by The Peaky Blinders: Why I Love This Series That Much

Beberapa hari yang lalu, saya menamatkan series yang berjudul Peaky Blinders. Berlatar belakang di kota kecil Small Heath, Birmingham, series ini bercerita tentang keluarga gangster Peaky Blinders dengan bisnis judi pacuan kuda yang dipimpin oleh the one and only Thomas Shelby, anak kedua keluarga Shelby yang juga mengidap PTSD (post traumatic stress disorder) pasca keterlibatannya di perang dunia pertama. Why "Peaky Blinders"? They got razor blades sewn in the peak of their caps that usually used to “blind” their enemies (by slicing their eyes), as a symbol of their conqueror.


Cerita pada season 1 bermula saat Tommy Shelby dan anak buahnya "tidak sengaja" merampok kotak-kotak berisi puluhan senjata dan ratusan amunisi milik pemerintah. Inggris saat itu sedang dilanda perang dingin pasca WWI dengan gerakan komunis dan gerakan separatis IRA. Jika kepemilikan senjata itu diketahui pihak-pihak tersebut, tentu akan membahayakan posisi Inggris. But yeah, being the cunning man that he is, instead of giving them back to the government, Tommy Shelby hid the weapons as a bargain. Sampai polisi khusus didatangkan dari Belfast untuk menyelidiki di mana Tommy menyembunyikan senjata-senjata itu.


This is one hell of a show. Sampai season ke-4, series ini kebanyakan bercerita tentang ekspansi keluarga Shelby dan bagaimana Tommy Shelby menjadi otak dari setiap penaklukkan, negosiasi dan balas dendam. Maaan, this series is full of classy violence and brilliant crimes. I loooove this show so much it hurts. Selain karena penampilan si Tommy Shelby a.k.a Cillian Murphy yang rahangnya bisa buat ngiris mangga saking alusnya (I’m so shallow I know), saya pribadi suka sekali kisah anti-hero macam Peaky Blinders ini. Kecenderungan saya yang menyukai tokoh villain alias penjahat  selalu membuat saya mencari-cari show atau film dengan tokoh protagonis yang “mempunyai” masalah moral disengagement. Kenapa? Entahlah. Mungkin karena saya sudah muak dengan karakter hitam putih absolut yang selalu menempatkan orang baik sebagai protagonis dan orang jahat sebagai antagonis. Instead of getting rid of their inner demons, these anti-hero characters willingly negotiate with them, accepting the darkness as the part of themselves. Tidak ada orang yang sebenar-benarnya baik tanpa cela dan tidak ada juga orang yang sebenar-benarnya jahat tanpa harapan. Ketidaksempurnaan itu melegakan. I love fiction that perfectly depicts reality.


This series is such a masterpiece. Sinematografinya mantep pisan, plotnya padat dan nggak bertele-tele, dan script-nya... hhhh... I’m lost for words but Steven Knight, I LOVE YOU! Saya suka banget bagaimana Steven Knight menggambarkan apa adanya konteks Birmingham (dan Inggris secara keseluruhan) pada masa itu di series ini, termasuk dimensi sosial-politik dan juga perang ideologinya. Konflik di antara lingkaran setan pemerintah-pemberontak-penjahat menjadi bumbu utama series ini. Istilah “All is fair in love and war” benar-benar bukan omong kosong. Tidak ada polarisasi dan dikotomi baik-buruk atau benar-salah, karena semuanya tentang kepentingan dan penawaran tertinggi. This series reflects how this world works, and there are so many things to learn!


Maka, setelah nonton 4 season secara mutawatir (jarang lho seorang Dewi Rosfalianti nonton series ampe tamat, I’m kinda proud of myself) I declare that this series is hella recommended.


Daaamn. It’s Tommy Shelby. It’s always THE Tommy Shelby.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar