Dua jam ini aku hanya duduk termangu di depan kaca yang menghadap halaman rumahku. Memikirkan hal yang belum tuntas, yang masih menggantung di kepalaku. Berbagai pertanyaan berceceran di benakku. Bagaikan sengatan lebah yang tak henti menyengat, pertanyaan pertanyaan itu pun memukul kesadaaranku berkali-kali.
“Ra!”
Aku menolehkan kepala dan kulihat tunanganku tersenyum, lelaki yang 3 hari lagi akan kunikahi.
“Aku cari-cari kamu dari tadi. Kamu dipanggil ibu, Sayang, kita dipinta cek progres di tempat resepsi,” ujarnya sambil tersenyum.
Kupandang laki-laki yang sedang berjalan ke arahku itu. Tidak pernah sekejap pun ia berlaku kasar. Tampan, berwibawa, dewasa, dengan trust fund yang akan membuat perempuan manapun iri kepadaku. 10 tahun terakhir ini kami sudah saling mengenal. Seperti sudah ditakdirkan sejak lahir, after a countless smiles, hugs, laughs, fights, and obtacles, we're finally sure that we could make it work dan memutuskan untuk menikah. Hanya Tuhan yang tahu betapa besar aku mencintainya, tetapi juga hanya Tuhan yang tahu betapa keras dan betapa gagal usahaku selama ini untuk menyingkirkan masa lalu.
Ia berdiri di belakangku, merangkulkan tangannya di sekelililng pundakku dan mencium puncak kepalaku. “Kamu lagi mikirin apa, Sayang? Kok ngelamun aja kayaknya dari tadi?”
Aku tersenyum, mendongakan kepala. “Gapapa, Cinta. Cuma lagi mikirin, nanti kita bulan madu dimana? Udah H-3 dan kamu juga masih nggak mau ngasih tau aku. Itu kejam, tau.”
Dia tertawa. Ah, that laugh. “Oalah, kalau soal itu, maaf banget ya, Sayang. Sampai nanti kita di sana aku nggak akan jawab soal itu.”
“Fine. Don’t talk to me, then. Sana jauh-jauh! aku lagi dipingit!” Ujarku galak.
“Emm... Ngambek ini ceritanya?” Ujarnya sambil tertawa. Ia melepaskan rangkulannya, berjongkok di hadapanku dan meletakkan tangannya di pangkuanku. “Terserah kamu deh mau ngambek sampai kapan, tapi jangan ninggalin aku pas ijab-kabul ya, Yang. Aku udah nunggu 10 tahun untuk momen 3 hari lagi dan aku juga nggak mau hidup tanpa kamu,” katanya lalu mencium ujung hidungku.
Laki-laki dan kata-katanya, ya Tuhan.
“Idih, cheesy banget kamu, Yang!” kataku sok cool tetapi dengan pipi merah luar biasa. “Nggak bakal lah, Sayang,” tambahku dengan tersenyum.
Lalu kami tertawa bersama.
Hidup denganmu akan membahagiakan dan aku bahkan bisa melihatnya dari pantulan matamu, Za. Tetapi mengapa aku tak bisa balik kanan dengan sempurna dari masa laluku?
***
Sebaris pesan di ponselku langsung membuatku terdiam.
Starbucks sarinah, 5 pm. Please, Ra. We need to talk.
Crap. Keep screwing me up, Al. Just keep screwing me up.
Kubiarkan pesan itu, lalu memasukkan ponsel ke dalam handbag. Fokus menatap ke depan jalan, pura-pura tak ada hal yang penting dari pesan itu.
Tapi lelaki tercintaku itu terlalu mengenalku, ternyata.
“Siapa, Ra? Algi, ya?”
Oh, shit.
“Well...”
“I know you too well, Honey. So just tell me,” jelasnya sambil —ya Tuhan— tersenyum. Ini masa laluku dan aku masih belum bisa lepas darinya, Za, kenapa kamu terlalu baik kepadaku?
“Eumm... Iya, Za. Ngajak ketemu nanti sore. Biarin aja lah, toh aku juga nggak bakal dateng.”
“Kamu harus dateng, Ra.”
What?
“Nggak usah lah, Sayang. Ngapain juga, lagian aku juga nggak mau. Apa banget sih kamu,” ujarku defensif. Ini aku tunangan dengan malaikat atau gimana sih?
Ia menepikan mobil, lalu memegang tanganku dan berkata, “Ra, aku dan kamu tahu ada yang belum selesai antara kamu dan dia.”
“Udah selesai, Za. Bener-bener selesai! Besok kita nikah! Kamu lupa?”
“Nggak mungkin aku lupa hal itu, Sayang. Itu hal yang udah aku tunggu-tunggu selama hampir sepertiga hidup aku, tapi kamu tahu nggak?”
“Apa?”
“Aku nggak mau nanti, pas kita udah menikah, kamu tersiksa rasa bersalah karena nggak bisa ngeluarin Algi dari pikiran kamu. Aku udah kenal kamu selama 10 tahun, Ra, dan harus mengenal kata ‘kalian’ tanpa aku terlibat di dalamnya selama 3 tahun terkutuk itu dan aku tahu gimana sayangnya kalian satu sama lain dulu. Aku nggak perlu diyakinin lagi, aku tahu kamu cinta sama aku sekarang dan aku juga lebih cinta sama kamu. Tapi diri kamu, diri kamu sendiri yang perlu diyakinin, Ra. Kamu yang harus menyelesaikannya. Aku nggak bisa ngebiarin kamu nggak bahagia di pernikahan kita. Makanya, nanti sore kamu dateng ya, dan selesaikan benar-benar.”
Karena itu aku mencintaimu, Mirza Adriansyah, karena itu aku ingin menikahimu. Karena kamu percaya padaku, bahkan saat aku tidak percaya pada diriku sendiri.
“Kamu yakin?” tanyaku.
Tidak ada keraguan sama sekali di matanya saat ia menjawab, “Yakin.”
“Well... Okay. But, Honey, can I ask you something?”
“Anything, Darling. What?”
“Kamu tu nggak pernah cemburu atau gimana sih?”
Dia tersenyum dan berkata, “You know, Ra? Aku mengerahkan segenap kesabaranku untuk nggak membayangkan Algi sebagai kaca mobil ini dan meninju-nya sampai pecah berkeping-keping.”
***
Dia melambaikan tangan, mengisyaratkan agar aku menghampirinya. And there he is, Algi Anggara, charming as always. The one who has messed with my head so much even now, after 7 years, since the last time we said “I love you” to each other.
“Apa kabar, Ra?”
“Baik, Alhamdulillah. Kamu sendiri?”
“Fine. Duduk, yuk.”
Aku duduk dan meletakkan handbag-ku di pangkuanku. Pandanganku tertumbuk pada dua Frappucinno di atas meja.
“Aku sudah mesenin kamu Frappucinno favorit kamu, with extra cream on top. Seperti waktu kita sering bareng dulu. Gapapa kan?”
“Gapapa kok,” ujarku sambil tersenyum. Dan izinkan aku untuk membayangkan betapa puasnya tampangku saat aku menyiramkan Frapucinno itu ke muka kamu, Algi Anggara.
Hanya Tuhan yang tahu bagaimana aku bisa mempunyai energi untuk membenci orang sampai sebesar ini.
“Uhm, so... Tomorrow you’re going to get married, huh?” tanyanya.
“Yep. Undanganku udah nyampe kan?” Dan scene saat aku marah-marah kepada Mirza karena telah mengundangnya berkelebat di kepalaku.
“Udah, kok. But, well, I still couldn’t believe it.”
“Believe what? Bahwa aku akan menikah? I’m already 27, Al. Masa iya aku nggak nikah-nikah?” kataku sambil tertawa kecil.
“Bukan, bukan itu.”
“Apa dong?”
“I still can’t believe that you’ll get married, but not with me.”
The ego on you, Man. Minta disiram banget ni laki-laki satu, asli.
“Oh come on, Al. Life runs, people change. You can’t have everything you want. This is me and I’m happy with him.”
“Really?”
Menurut lo, mas?
“Iya, Algi. Aku bahagia sama Mirza. Dan aku yakin ingin menikah sama dia,” kataku mantap. Bangga terhadap diriku sendiri karena aku bisa mengucapkan hal itu dengan mudah di hadapannya. “Kamu sendiri kapan nikah? Undang aku sama Mirza lho, jangan lupa.”
Dia tertawa kecil, “Belum, Ra, dan klo kamu nanya itu sebelum kamu memutuskan nikah sama Mirza, mungkin jawabannya bakal beda,” balasnya sambil menatapku.
Wanna get your mojo on me, Man? Don’t waste your time, I won’t buy it.
“Algi, berhenti main-main, udah waktunya buat kamu settle down dan membangun rumah tangga,” kataku.
“How can I be settled down if since we broke up I couldn’t be serious with any women?”
Mungkin karena itu aku membencimu terlalu parah, Algi Anggara, karena kamu mengatakan itu padahal saat kita bersama kau tak pernah menunjukkan kesungguhanmu. Tetapi mungkin karena itu juga kamu terlalu melekat di kepalaku, Al. Terlalu melekat karena kau mengakhirinya terlalu mudah. Terlalu melekat karena kau mengubahku menjadi diriku yang sampai saat ini masih membenci kamu dan tak pernah berhenti menyesali keadaan.
Dan kini, izinkan aku mengakhirinya —I’m quoting Mirza here— dengan benar-benar. Aku mungkin pernah mencintaimu jungkir-balik, Algi Anggara, tetapi aku bersyukur karena aku tahu sekarang sudah tidak lagi. Aku sudah memilih, dan pilihan itu bukan kamu.
“Anggara, you should know, I came here not because I want to get some flashes back to us. I came here to convince myself that we’re truly end. And yeah, I know that finally we are. You’re still in my mind sometimes but I already had someone who’ll lift me up when I drown in my pain because of you. It’s been 7 years but I think the wound hasn't been healed, Al. It’s been 7 years and I still constantly think why we ended up that way. I hate you so much and still regret how we hurt each other, even now, a day before my marriage. But my life has to run, Al, I have to live my life with or without you. And now I’ve got Mirza by my side, and only God knows how much I love him. I’ve picked my own happiness and I’ll forgive you for everything you’ve done if you also pick yours,” there I just said it. Lega luar biasa.
Ia terdiam, tak mengatakan apa-apa dan hanya memandangku. Tetapi matanya mengatakan segalanya.
“Pikirkan kata-kataku ya, Al. aku mungkin membencimu setengah mati tetapi aku tetap ingin kamu bahagia. Dan saat kamu sudah menemukan dia yang kamu sayang, pastikan kamu nggak akan menyia-nyiakannya seperti kamu menyia-nyiakan aku,” ujarku mantap.
Lalu aku pergi, meninggalkan kenangan dan potongan terakhir nama Algi Aggara dari hatiku.
***
“Saya terima nikah dan kawinnya Ayara Anjani Musa binti Abraham Musa dengan mahar seperangkat alat sholat dan sebuah rumah dibayar tunai.”
“Sah? Sah?”
“Sah!”
Oh, here comes the tears. Cengeng banget aku ini, tapi tak ada yang lebih membahagiakan daripada kenyataan bahwa kau telah menyempurnakan sebagian agamamu, bukan?
Lalu aku menatapnya. Laki-laki itu, yang tadi mengucapkan ijab-kabul dengan mantap dan sempurna. Laki-laki itu, yang sekarang menatapku penuh rasa syukur, dan dunia pun tahu betapa aku sangat bersyukur memiliki ia sebagai suamiku.
“I love you, Mrs. Mirza Adriansyah,” ucapnya sebelum ia mencium keningku. Gosh, I’ve never known that calling could be that sexy!
“I love you too,” balasku. Kali ini tanpa ragu. “Sekarang boleh aku tau kita bakal bulan madu dimana?”
“Kan aku udah bilang, kamu nggak bakal aku kasih tahu sebelum kita sampai sana,” jawabnya sambil tersenyum jahil.
“Tuh kan,” responku. Makin penasaran saja aku jadinya.
“Tebak dong,” godanya.
“Emm, kemana ya? Yaudah lah, kemana aja, yang penting bareng kamu,” ujarku.
Lalu ia tersenyum lebar, senyum menenangkan hati yang sudah memenangkan hatiku sejak awal, hanya saja saat itu aku terlalu bodoh untuk menyadarinya. “Klo gitu kita bakal bulan madu sepanjang hidup kita dong?”
“Yep. That means forever," jawabku. Lalu aku menciumnya.
And the rest is history.
***
Gambar diambil disini
“Ra!”
Aku menolehkan kepala dan kulihat tunanganku tersenyum, lelaki yang 3 hari lagi akan kunikahi.
“Aku cari-cari kamu dari tadi. Kamu dipanggil ibu, Sayang, kita dipinta cek progres di tempat resepsi,” ujarnya sambil tersenyum.
Kupandang laki-laki yang sedang berjalan ke arahku itu. Tidak pernah sekejap pun ia berlaku kasar. Tampan, berwibawa, dewasa, dengan trust fund yang akan membuat perempuan manapun iri kepadaku. 10 tahun terakhir ini kami sudah saling mengenal. Seperti sudah ditakdirkan sejak lahir, after a countless smiles, hugs, laughs, fights, and obtacles, we're finally sure that we could make it work dan memutuskan untuk menikah. Hanya Tuhan yang tahu betapa besar aku mencintainya, tetapi juga hanya Tuhan yang tahu betapa keras dan betapa gagal usahaku selama ini untuk menyingkirkan masa lalu.
Ia berdiri di belakangku, merangkulkan tangannya di sekelililng pundakku dan mencium puncak kepalaku. “Kamu lagi mikirin apa, Sayang? Kok ngelamun aja kayaknya dari tadi?”
Aku tersenyum, mendongakan kepala. “Gapapa, Cinta. Cuma lagi mikirin, nanti kita bulan madu dimana? Udah H-3 dan kamu juga masih nggak mau ngasih tau aku. Itu kejam, tau.”
Dia tertawa. Ah, that laugh. “Oalah, kalau soal itu, maaf banget ya, Sayang. Sampai nanti kita di sana aku nggak akan jawab soal itu.”
“Fine. Don’t talk to me, then. Sana jauh-jauh! aku lagi dipingit!” Ujarku galak.
“Emm... Ngambek ini ceritanya?” Ujarnya sambil tertawa. Ia melepaskan rangkulannya, berjongkok di hadapanku dan meletakkan tangannya di pangkuanku. “Terserah kamu deh mau ngambek sampai kapan, tapi jangan ninggalin aku pas ijab-kabul ya, Yang. Aku udah nunggu 10 tahun untuk momen 3 hari lagi dan aku juga nggak mau hidup tanpa kamu,” katanya lalu mencium ujung hidungku.
Laki-laki dan kata-katanya, ya Tuhan.
“Idih, cheesy banget kamu, Yang!” kataku sok cool tetapi dengan pipi merah luar biasa. “Nggak bakal lah, Sayang,” tambahku dengan tersenyum.
Lalu kami tertawa bersama.
Hidup denganmu akan membahagiakan dan aku bahkan bisa melihatnya dari pantulan matamu, Za. Tetapi mengapa aku tak bisa balik kanan dengan sempurna dari masa laluku?
***
Sebaris pesan di ponselku langsung membuatku terdiam.
Starbucks sarinah, 5 pm. Please, Ra. We need to talk.
Crap. Keep screwing me up, Al. Just keep screwing me up.
Kubiarkan pesan itu, lalu memasukkan ponsel ke dalam handbag. Fokus menatap ke depan jalan, pura-pura tak ada hal yang penting dari pesan itu.
Tapi lelaki tercintaku itu terlalu mengenalku, ternyata.
“Siapa, Ra? Algi, ya?”
Oh, shit.
“Well...”
“I know you too well, Honey. So just tell me,” jelasnya sambil —ya Tuhan— tersenyum. Ini masa laluku dan aku masih belum bisa lepas darinya, Za, kenapa kamu terlalu baik kepadaku?
“Eumm... Iya, Za. Ngajak ketemu nanti sore. Biarin aja lah, toh aku juga nggak bakal dateng.”
“Kamu harus dateng, Ra.”
What?
“Nggak usah lah, Sayang. Ngapain juga, lagian aku juga nggak mau. Apa banget sih kamu,” ujarku defensif. Ini aku tunangan dengan malaikat atau gimana sih?
Ia menepikan mobil, lalu memegang tanganku dan berkata, “Ra, aku dan kamu tahu ada yang belum selesai antara kamu dan dia.”
“Udah selesai, Za. Bener-bener selesai! Besok kita nikah! Kamu lupa?”
“Nggak mungkin aku lupa hal itu, Sayang. Itu hal yang udah aku tunggu-tunggu selama hampir sepertiga hidup aku, tapi kamu tahu nggak?”
“Apa?”
“Aku nggak mau nanti, pas kita udah menikah, kamu tersiksa rasa bersalah karena nggak bisa ngeluarin Algi dari pikiran kamu. Aku udah kenal kamu selama 10 tahun, Ra, dan harus mengenal kata ‘kalian’ tanpa aku terlibat di dalamnya selama 3 tahun terkutuk itu dan aku tahu gimana sayangnya kalian satu sama lain dulu. Aku nggak perlu diyakinin lagi, aku tahu kamu cinta sama aku sekarang dan aku juga lebih cinta sama kamu. Tapi diri kamu, diri kamu sendiri yang perlu diyakinin, Ra. Kamu yang harus menyelesaikannya. Aku nggak bisa ngebiarin kamu nggak bahagia di pernikahan kita. Makanya, nanti sore kamu dateng ya, dan selesaikan benar-benar.”
Karena itu aku mencintaimu, Mirza Adriansyah, karena itu aku ingin menikahimu. Karena kamu percaya padaku, bahkan saat aku tidak percaya pada diriku sendiri.
“Kamu yakin?” tanyaku.
Tidak ada keraguan sama sekali di matanya saat ia menjawab, “Yakin.”
“Well... Okay. But, Honey, can I ask you something?”
“Anything, Darling. What?”
“Kamu tu nggak pernah cemburu atau gimana sih?”
Dia tersenyum dan berkata, “You know, Ra? Aku mengerahkan segenap kesabaranku untuk nggak membayangkan Algi sebagai kaca mobil ini dan meninju-nya sampai pecah berkeping-keping.”
***
Dia melambaikan tangan, mengisyaratkan agar aku menghampirinya. And there he is, Algi Anggara, charming as always. The one who has messed with my head so much even now, after 7 years, since the last time we said “I love you” to each other.
“Apa kabar, Ra?”
“Baik, Alhamdulillah. Kamu sendiri?”
“Fine. Duduk, yuk.”
Aku duduk dan meletakkan handbag-ku di pangkuanku. Pandanganku tertumbuk pada dua Frappucinno di atas meja.
“Aku sudah mesenin kamu Frappucinno favorit kamu, with extra cream on top. Seperti waktu kita sering bareng dulu. Gapapa kan?”
“Gapapa kok,” ujarku sambil tersenyum. Dan izinkan aku untuk membayangkan betapa puasnya tampangku saat aku menyiramkan Frapucinno itu ke muka kamu, Algi Anggara.
Hanya Tuhan yang tahu bagaimana aku bisa mempunyai energi untuk membenci orang sampai sebesar ini.
“Uhm, so... Tomorrow you’re going to get married, huh?” tanyanya.
“Yep. Undanganku udah nyampe kan?” Dan scene saat aku marah-marah kepada Mirza karena telah mengundangnya berkelebat di kepalaku.
“Udah, kok. But, well, I still couldn’t believe it.”
“Believe what? Bahwa aku akan menikah? I’m already 27, Al. Masa iya aku nggak nikah-nikah?” kataku sambil tertawa kecil.
“Bukan, bukan itu.”
“Apa dong?”
“I still can’t believe that you’ll get married, but not with me.”
The ego on you, Man. Minta disiram banget ni laki-laki satu, asli.
“Oh come on, Al. Life runs, people change. You can’t have everything you want. This is me and I’m happy with him.”
“Really?”
Menurut lo, mas?
“Iya, Algi. Aku bahagia sama Mirza. Dan aku yakin ingin menikah sama dia,” kataku mantap. Bangga terhadap diriku sendiri karena aku bisa mengucapkan hal itu dengan mudah di hadapannya. “Kamu sendiri kapan nikah? Undang aku sama Mirza lho, jangan lupa.”
Dia tertawa kecil, “Belum, Ra, dan klo kamu nanya itu sebelum kamu memutuskan nikah sama Mirza, mungkin jawabannya bakal beda,” balasnya sambil menatapku.
Wanna get your mojo on me, Man? Don’t waste your time, I won’t buy it.
“Algi, berhenti main-main, udah waktunya buat kamu settle down dan membangun rumah tangga,” kataku.
“How can I be settled down if since we broke up I couldn’t be serious with any women?”
Mungkin karena itu aku membencimu terlalu parah, Algi Anggara, karena kamu mengatakan itu padahal saat kita bersama kau tak pernah menunjukkan kesungguhanmu. Tetapi mungkin karena itu juga kamu terlalu melekat di kepalaku, Al. Terlalu melekat karena kau mengakhirinya terlalu mudah. Terlalu melekat karena kau mengubahku menjadi diriku yang sampai saat ini masih membenci kamu dan tak pernah berhenti menyesali keadaan.
Dan kini, izinkan aku mengakhirinya —I’m quoting Mirza here— dengan benar-benar. Aku mungkin pernah mencintaimu jungkir-balik, Algi Anggara, tetapi aku bersyukur karena aku tahu sekarang sudah tidak lagi. Aku sudah memilih, dan pilihan itu bukan kamu.
“Anggara, you should know, I came here not because I want to get some flashes back to us. I came here to convince myself that we’re truly end. And yeah, I know that finally we are. You’re still in my mind sometimes but I already had someone who’ll lift me up when I drown in my pain because of you. It’s been 7 years but I think the wound hasn't been healed, Al. It’s been 7 years and I still constantly think why we ended up that way. I hate you so much and still regret how we hurt each other, even now, a day before my marriage. But my life has to run, Al, I have to live my life with or without you. And now I’ve got Mirza by my side, and only God knows how much I love him. I’ve picked my own happiness and I’ll forgive you for everything you’ve done if you also pick yours,” there I just said it. Lega luar biasa.
Ia terdiam, tak mengatakan apa-apa dan hanya memandangku. Tetapi matanya mengatakan segalanya.
“Pikirkan kata-kataku ya, Al. aku mungkin membencimu setengah mati tetapi aku tetap ingin kamu bahagia. Dan saat kamu sudah menemukan dia yang kamu sayang, pastikan kamu nggak akan menyia-nyiakannya seperti kamu menyia-nyiakan aku,” ujarku mantap.
Lalu aku pergi, meninggalkan kenangan dan potongan terakhir nama Algi Aggara dari hatiku.
***
“Saya terima nikah dan kawinnya Ayara Anjani Musa binti Abraham Musa dengan mahar seperangkat alat sholat dan sebuah rumah dibayar tunai.”
“Sah? Sah?”
“Sah!”
Oh, here comes the tears. Cengeng banget aku ini, tapi tak ada yang lebih membahagiakan daripada kenyataan bahwa kau telah menyempurnakan sebagian agamamu, bukan?
Lalu aku menatapnya. Laki-laki itu, yang tadi mengucapkan ijab-kabul dengan mantap dan sempurna. Laki-laki itu, yang sekarang menatapku penuh rasa syukur, dan dunia pun tahu betapa aku sangat bersyukur memiliki ia sebagai suamiku.
“I love you, Mrs. Mirza Adriansyah,” ucapnya sebelum ia mencium keningku. Gosh, I’ve never known that calling could be that sexy!
“I love you too,” balasku. Kali ini tanpa ragu. “Sekarang boleh aku tau kita bakal bulan madu dimana?”
“Kan aku udah bilang, kamu nggak bakal aku kasih tahu sebelum kita sampai sana,” jawabnya sambil tersenyum jahil.
“Tuh kan,” responku. Makin penasaran saja aku jadinya.
“Tebak dong,” godanya.
“Emm, kemana ya? Yaudah lah, kemana aja, yang penting bareng kamu,” ujarku.
Lalu ia tersenyum lebar, senyum menenangkan hati yang sudah memenangkan hatiku sejak awal, hanya saja saat itu aku terlalu bodoh untuk menyadarinya. “Klo gitu kita bakal bulan madu sepanjang hidup kita dong?”
“Yep. That means forever," jawabku. Lalu aku menciumnya.
And the rest is history.
***
“One day, someone will walk into your life and make you see why it never worked out with anyone else.” — Anonymous
Yogyakarta, Mei 24 05.10 am
Gambar diambil disini