Aku tak pernah memimpikan kamu.
Kamu bergerak terlalu cepat.
Tanpa membayang, jauh dari tangkapan.
Bagai kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya perlahan lalu pergi lagi, seakan menggoda agar aku terlena.
Tetapi aku mundur, tahu diri, tak mau berangan terlalu tinggi.
Melanjutkan hari, menempuh belantara sepi sendiri.
Lalu semesta memainkan perannya perlahan dalam diam.
Mengejutkanku tanpa persiapan, terpaku pada benang milikku dan milkmu yang entah mengapa bisa bertautan.
Ya, itu milikku. Tipis, rapuh, dengan sisa upaya berusaha mengaitkan harapan.
Tetapi... Ini bukanlah sesuatu yang kita rencanakan bukan?
Aku hanya menjalankan lelucon Tuhan, sambil diam-diam meringis, sambil kadang-kadang menangis.
Bodoh? Aku sendiri pun tahu.
Namun aku bersyukur bahwa setidaknya kau masih berkenan membagikan senyum harga sejuta milikmu itu.
Bersyukur bahwa bagaimanapun, kau sudah membuatku tertawa lepas tanpa ragu.
Pikirku, layakkah bagiku untuk tenggelam di sepersil surga artifisial ini?
Detik itu juga, hatiku seakan langsung menyahut, "Setelah jutaan luka-luka kecil di dalam sini, ini adalah jawaban dari doa-doamu selama ini."
Hey, ternyata otakku tidak terima, Ia gandeng kemarahan dan rasa kecewa, bersama-sama berunjuk rasa.
"Jawaban doa macam apa yang selalu membiarkanmu menunggu?!" kata mereka.
Entahlah.
Tapi toh bagaimanapun, benangku masih menautkan dirinya, belum mau lepas, belum ingin tuntas.
Ia acuhkan pertengkaran antara otak dan hati, bertahan dengan sisa daya yang ada, walau letih.
Lalu aku menyadari...
Mungkin saat aku mulai membuat alasan untuk sikapmu yang membuatku berasa ingin mati saja, saat itu lah aku benar-benar mengerti...
Aku memang butuh kamu.