Kalau ditanya seperti itu, biasanya sih saya punya dua tipe jawaban. Jawaban pertama, saya akan mengarang ratusan kalimat ndakik-ndakik tentang ketidakcocokan, keengganan mengenal orang baru, atau rasa nyaman jika masih sendiri. Jawaban kedua? Karena kasus cinta berbalas dan menyenangkan semua orang masih merupakan privilege. Betul, semua berubah saat society menyerang.
Apa memang hidup harus seperti itu ya? Tapi memang banyak banget yang seperti itu. Waktu jaman-jamannya masih hopeful saya pernah ditanya mau hidup di dunia yang kaya apa, dan saya cuma bisa jawab "I want to live in a world where the man I love also loves me back." Because the pattern will always be the same, I think. We always love people who ignore us and we always ignore people who love us. Hubungan romantika baru akan terjadi saat vicious cycle itu terputus karena perasaan yang berbalas.
Tapi ya pacaran bisa pisah, pernikahan juga nggak selamanya aman dari perselingkuhan, perceraian, atau problem lain. Liat itu The World of The Married, seluruh dunia dibuat pusing. Ada yang merasa relevan dengan pengalamannya, atau ada juga yang tiap nonton komat-kamit merapalkan doa agar hal serupa tidak pernah terjadi di hidupnya. But eventually, we all agree that people change and love sometimes fades.
Selain masalah perasaan itu sendiri, kadang saya dibuat sedih saat hebeh-hebeh percintaan juga dikacaukan dengan standar, ekspektasi dan tuntutan. Saya bisa dibilang pragmatis, tapi saya juga kadang-kadang rindu masa-masa naif saat saya percaya kita emang butuh cinta aja. Dulu cinta doang masih laris, sekarang harus ada embel-embelnya. Emang lu bisa kenyang doang pake cinta? Logikanya sih kalau cinta sih ya nggak bakal ngebiarin orang yang dicintainya kelaparan.
Atau ini cuma masalah degradasi makna? Dulu cinta sama bahagia ya satu paket. Susah bareng tapi ya juga berusaha biar susahnya nggak terlalu lama. Sekarang? Saya malah ngerasa cinta jadi entitas yang berdiri sendiri. Kamu cinta sama orang itu? Iya. Bisa ngasih dia makan? Nggak. Berarti nggak boleh bersama. Makna cinta jadi eksklusif dan utopis, atau bahkan sebaliknya, meaningless dan cuma jadi barang jualan. Seakan-akan mencintai dan menghidupi itu berbeda, padahal mestinya sama.
Di drakor favorit saya, ada kutipan yang bunyinya kira-kira gini, "Berapa banyak sih orang yang sukses menikah dengan orang yang mereka cintai? Sekarang kamu bisa bilang cinta aja, sampai nanti variabel dan realita yang mengubah semuanya." Kesel nggak sih? Saya sih kesel. Kesel karena emang ada benarnya. Tapi untung aja di drakor itu akhirnya bahagia, karena emang tokohnya mencintai juga menghidupi.
Terus ini intinya apa sih? Hambuh. Blog blog saya. Mau ngelantur juga terserah saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar