Jumat, 08 Mei 2020

Tempat Kabur

Awal perkenalan saya sama dunia fiksi dan perhaluan itu kayaknya gara-gara waktu kecil dulu suka sama Detektif Conan, lalu baca buku-buku bapak saya yang sama sekali nggak saya paham artinya. Tahu anaknya kemungkinan punya minat baca, bapak dan ibu saya kadang membelikkan satu komik atau novel sepulang kantor. Saya ingat waktu dulu bapak saya pernah membelikkan komik yang judulnya "Putri Pemalas", yang saya paham betul maksudnya sebagai sindiran halus agar saya tidak jadi pemalas. Namun alih-alih menjadi rajin, saya jadi makin malas karena komik tersebut bercerita tentang putri yang hobinya tidur dan belanja online tetapi mimpinya sering menjadi kenyataan sehingga Ia dihormati dan dicintai seluruh warganya. Makin panjang lah waktu tidur saya.

Pernah juga saya ingat banget waktu kelas 4 SD ibu saya membelikan saya komik berjudul Meteor Garden aka Hanayori Dango, dan saya yakin dia saya asal beli aja karena belinya pun langsung yang Volume 6 dan jebule ada adegan kissing-nya. Saya baca itu waktu di sekolah pula, untuk nggak kesita guru.

Lanjuuuuuuttt terus itu petualangan fiksi dan perhaluan saya sampai saya nggak bisa ngitung udah berapa banyak karakter fiksi yang saya sebutkan dalam doa. Iya seriusan, dulu masih saya doain setiap abis solat. Doanya ganti-ganti entah minta dapat yang macam mereka atau agar dimunculkan parallel universe di mana saya bisa jadi tokoh utama. Munculkan dia yang bisa membuat aku berpaling dari semua lelaki tak nyata ini, ya Allah. Jadikan hidupku bersama dia lebih indah dari fiksi mana pun, ya Allah. Shit I was a hopeless romantic and I lowkey wanna slap the fuck out of my old self for being so fucking naive.

Sekarang? Jelas masih halu. Tapi halunya agak tahu diri sih kayaknya. Dulu saya menempatkan fiksi itu semacam masa depan, tapi sekarang? Ya sudah, tempat kabur. Semesta yang lain yang bisa saya lompati portalnya sesuka hati kapanpun saya mau. Saya pernah baca artikel yang bilang gini: "It's not because Netflix is interesting. It's because our lives aren't," dan saya berasa digampar. Pahit banget rasanya tapi memang betul. Fictional world is a form of escapism for me, like a warm blanket that gives me a little comfort before waking up in the morning to face this mundane, uninteresting life. Sudah lewat masa-masanya untuk saya bermimpi punya apartemen mewah dengan dinding kaca menghadap pemandangan gemerlap kota metropolitan, atau punya pasangan laki-laki paket lengkap; tampan, kaya, baik hati dan tidak pro-patriarki. Mimpi memang enak, tapi pas diwujudkan kadang cuma bikin pusing. Ibarat punya gebetan yang tidak terlalu kenal banget tapi begitu kenal hancur sudah segala imaji dan ekspektasi. Karena emang pada dasarnya, beberapa mimpi memang udah sepatutnya dibiarin jadi mimpi aja tanpa perlu ada hebeh-hebeh aksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar