"Aku
hanya minta secuil alasan di otakmu dan sebentar saja dari waktumu."
"Untuk
apa?"
"Menuntut
penjelasan darimu, memakimu, mencelamu sesuka hatiku, menangis keras di
depanmu, lalu tersenyum lebar dan pergi menjauh."
"Kau
bilang kau sudah memaafkanku."
"Otakku
sudah, hatiku belum."
"Kau
masih mencintaiku?"
"Ya."
"Menyesalkah
kau sekarang?"
"Tidak."
"Lalu
mengapa sekarang kau ingin menuntut penjelasan dan mencaci-maki diriku?"
"Aku
ingin bisa memaafkanmu dengan hatiku."
"Perlukah
itu?"
"Ya,
sangat perlu."
"Mengapa? Kau tidak bisa melupakanku?"
"Kenapa
aku harus melupakanmu? Kau itu pelajaran, agar kelak aku tidak lagi mengatakan
'ya' kepada orang macam kamu."
"Lalu
mengapa kau ingin memaafkanku?"
"Agar
lepas bebanku, dan tidak lagi mencintaimu. Aku tidak ingin menyakiti orang
lain."
"Menyakiti
orang lain?"
"Ya."
"Bagaimana bisa?"
"Aku pernah merasakan bagaimana sakitnya mencintai seseorang yang terus
mengingat orang lain dalam hidupnya, dan aku tidak ingin seperti itu. Aku tidak
ingin seperti kamu."
(Di titik
luka, pada suatu malam. Sejenak lega menyergapku, dan rindu akan bahagia
mengampiriku. Lalu aku sadar, aku harus memaafkanmu dan melepasmu tanpa ragu)
gambar di ambil di sini.