Selasa, 19 Juli 2016

Hati

Kamu waktu itu pernah berkata bahwa terkadang manusia harus berusaha terbiasa dengan keadaannya sendiri. Sangat terbiasa sehingga ia menjadi lupa akan hal lainnya, menjadi tidak peduli akan apapun selain rutinitasnya.
"Buatlah hatimu malas bergerak!" katamu."Tidak terlalu diam hingga mati bosan, tidak terlalu pecicilan hingga terlempar jatuh dan kesakitan."
Lalu aku mulai meninggalkan seluruh keluhan, mengabaikan segenap rasa dan gerakan yang tiba-tiba muncul, membiarkan sang hati berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Pelan pelan dan sesuai perhitungan.
Tentram dan tanpa gangguan.
Namun...
"Dia datang, Tuan," kataku sambil tersenyum masam.
Dengan senyuman seharga 1 juta dolar itu kamu memandangku, "Lalu, apa kabar hatimu?"
Tanpa sadar aku menyentuh sang hati, mengantisipasi hal yang tak nyaman. Lalu aku menjawab tanpa suara, tapi toh kamu tahu. Bahkan aku akan kaget jika kamu tidak mengerti. Kadang aku benci mengakui bahwa mungkin kamu lebih mengerti hatiku dibanding yang lain.
"Sakit kah?" tanyamu.
"Tidak. Hanya... menyesakkan."
Lalu kamu menganggukkan kepalamu penuh pemahaman. Kamu menunduk lama. Sangat lama hingga rasanya ini semakin sesak saja.
"Mungkin sudah saatnya," ucapmu perlahan.
"Saatnya apa, Tuan?"
"Ya... Saatnya melepas hatimu. Ia mungkin sudah cukup kuat untuk disakiti, sudah cukup bijaksana untuk dibiarkan memilih, sudah cukup pintar untuk berjalan tanpa pegangan."
Aku terdiam.
"Ia sudah cukup dewasa, maka sudah saatnya lah Ia dibahagiakan."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar