Kau berangkat agak pagi hari ini.
Tas kesukaannmu kau selempangkan di bahu kanan. Berjalan
perlahan, tanganmu berayun seirama langkahmu, dengan jari-jari yang kau
gerakkan seakan-akan kau sedang memainkan piano. Pandanganmu lurus ke depan, bibirmu
membuka dan menutup.
Kau sedang bernyanyi. Kau memang selalu bernyanyi.
Hari ke-47
Aku menggeser mangkuk kecil di depanku. Tanganku menyentuh
kaca. Lapisannya dingin. Terlalu dingin untuk ku bisa membayangkan betapa hangatnya
sinar matahari jam 8 pagi yang berkilau di rambutmu.
Rasanya makin dingin. Bahkan kaca pun ikut mencemooh anganku
untuk menyentuhmu.
Hari ke-72
Ini sudah hampir jam 10 pagi. Kau kemana?
Dengan nanar ku menatap jalan setapak yang
selalu kau lewati. Sepintas kulihat gerakan di sudut mata. Aku bisa merasakan
mataku membesar dengan penuh harap, hanya untuk melihat bahwa itu bukan kau.
Begitu terus, berulang kali, sepanjang hari ini.
Hari ke-79
Rasanya kesal sekali. Kau lewat begitu saja, nyaris berlari.
7 detik itu waktu yang terlalu sebentar untuk ku yang sudah menunggumu selama 7
hari.
Kutendang mangkuk kecil didepanku. Isinya berhamburan kemana-mana.
Hari ke-86
Kau di sana, dengan rambut yang agak berantakan dari
biasanya. Sambil berjalan, kau repot merapikan bajumu yang kusut.
Lalu hal itu terjadi. Kau menatapku.
Kau menatapku sambil menyisir rambut dan mengancingkan
kancing pertamamu yang terbuka. Kau menengok ke kiri dan ke kanan, lalu
mengambil sesuatu di tas kecilmu. Kau pulas bibirmu di depanku. Refleks,
kuangkat tanganku, seakan menyentuh bibirmu.
Rasanya masih dingin.
Hari ke 91
Aku mendengar derap langkah di belakangku. Aku merasa
tubuhku terangkat, diletakkan di pangkuan.
“Kenapa kamu selalu nangkring di jendela sih tiap pagi?” tanyanya seraya mengusap-usap punggungku. Aku mengalihkan pandanganku,
kau sudah pergi.
Aku menatap kaos putih yang sedang dikenakan oleh sang pemberi makanku. Lalu aku menatap tangannya
yang sekarang beralih mengusap-usap daguku. Lalu bahunya. Lehernya. Matanya.
Tuan,
aku mohon, setiap pagi, bukakan jendela ini untukku. Hanya setiap pagi.
“Miauw.”
Hanya itu yang bisa kukeluarkan dari mulutku.
Ia tersenyum walau
aku tahu Ia tidak paham ucapanku. Sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar