Tadi malem pas kebangun aku baca utas menarik judulnya "9 Langkah Common Sense Bangun Percakapan dengan Anak Muda Muslim Konservatif."
Bagi yang mau liat utasnya, langsung klik saja di sini.
Jadi secara garis besar, utas itu ngebahas tentang langkah-langkah membuka ruang dialog dengan teman-teman kita yang konservatif demi menghasilkan impact yang konstruktif bagi kedua belah pihak. Menurutku ulasannya bagus banget. Dan langkah-langkah common sense ini juga sebenernya berlaku sebaliknya, bisa dilakukan dalam membangun percakapan dengan siapapun yang kita rasa berbeda perspektifnya.
Ada beberapa bagian yang aku pikir nampar banget, terutama tentang bagaimana kita membuka ruang dialog, bukan monolog. Terus masalah asumsi, bagaimana kita selalu menempatkan muslim konservatif dalam satu wadah yang sama, padahal aslinya jauh lebih banyak dan rumit, dan tidak semua asumsi dan stereotipe yang kita pikir sesuai dengan keadaan mereka. Masalah rujukan juga; kita sukanya mengambil kesimpulan dan informasi dari sumber-sumber yang udah jelas bias dan tidak cover both sides cuma gara-gara sumber tersebut sudah mendukung draft opini dan perspektif kita sejak awal.
Kerasa banget sih, aku terutama, yang dulu sering banget "ekspansi perspektif" sana-sini. Ngeremehin temen-temen yang hijrah dadakan. Sok paling tercerahkan dan open-minded. Padahal ya ku masih close-minded lah wong ama yang mereka aja nggak mau memahami. Padahal perspektif kan harusnya dibandingkan dan dipahami, bukan di-ekspansi dan dilabeli benar/salah.
Pas rada kesini-kesini, baru agak nyadar bahwa emang proses orang itu beda-beda woy, termasuk proses mengenal diri sendiri dan Tuhannya. Toh ternyata emang banyak yang memang merasa "terselamatkan" dengan proses yang awalnya kuremehin itu. Cerita-cerita mereka pilu sekaligus indah lho. Who am I to judge?
"Tapi sekarang dia jadi suka preaching sana sini, Dew! Omongannya halal-haram terus dan nggak jarang mengkafir-kafirkan orang!"
Lah ya namanya juga proses. Tahap orang itu beda-beda. Idealnya sih improving ourselves dulu baru improving one another, tapi ternyata banyak yang kebalik. Ya gapapa banget sih. Orang belajar agama apapun kalau emang tulus dan niat pasti balik lagi ke ajaran yang baik-baik, toh emang dasar ajarannya baik. Mungkin emang prosesnya lama, mungkin malah udah baik tapi kita yang gamau ngerti karena standar "baik"-nya kita sendiri yang bikin. :))
Singkat cerita, saya dulu pernah ikut rapat organisasi untuk planning suatu event khusus temen-temen muslimah. Saat itu saya nawarin agar konsep acaranya dibikin seperti acara bazaar terkenal yang sering diadakan di Jogja. Tapi langsung dibantah dong, dibilang "Jangan! Ngikut-ngikutin kelompok sebelah aja!" And I was like excuse meeee??? Kalau ternyata cara mereka sukses menggaet masyarakat dan bermanfaat bagi UMKM sekitar ya kenapa kita nggak pelajari dan buat acara serupa? Tinggal dikonsep lah acaranya supaya sesuai dengan visi misi organisasi. Kita sering banget ngeluh sana sini dan merasa khawatir dengan gerakan-gerakan konservatif tapi kita aja masih rebahan dan nggak ngelakuin apa-apa. Jangankan membuka ruang dialog, dikaitkan dengan mereka aja kita ogah. :))
Radikal itu nggak mesti perbuatan lho. Kata itu terlalu lekat asosiasinya dengan kelompok tertentu sampe kita lupa bahwa kita juga bisa jadi radikal. Radikal pemikiran. Kekeuh gamau ngeliat melalui perspektif orang lain. Itu yang bahaya, karena bikin males usaha. Usaha untuk berkonsiliasi dan kompromi karena mikirnya "yaudahlah emang dari sananya beda". Terus jadi ngejauh. Terus gak ada ruang dialog dan jadi eco-chamber. Terus makin terpolarisasi. Kok mau-maunya sih dipecah-pecah? Percaya deh, seperti yang utas di atas katakan, pasti kita semua punya irisan. Punya sesuatu yang common. Itu yang harus dijadikan pijakan.
Apa tida cape labelling sana sini, sibuk menentukan "ini orang dari aliran mana ya?", "are you a part of us or them?" blablabla. Mbok fokus dengan yang sama aja. Ndak bisa po kita sama-sama jadi manusia aja?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar