Rabu, 06 Mei 2020

Rooftop (Part 1)

We both are afraid of the ground
but we can not escape
because flying means falling,
and we can not afford being seen
So here we are,
lying on this cold, hard cement
Your hands hold mine,
my lips seal yours,
what an endless beating.
Naked and scared,
we are fucking.

“Just stop... calling. Please,” sergah perempuan itu dengan suara bergetar. Ia mematikan teleponnya dan melemparnya ke tempat tidur.

Perempuan itu menengadahkan kepalanya, menatap langit-langit kamar. Matanya panas.

Setengah berlari, Ia membuka pintu menuju balkon, berjongkok, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia berteriak, memaki, sambil memeluk dirinya sendiri seakan tubuhnya akan hancur jika tidak dipegangi. Perempuan itu tidak pernah menangis sehebat ini.

Setelah beberapa saat, tangisnya mereda. Kepalanya rasanya sakit sekali. Ia bangkit perlahan, tangannya memegang erat pagar balkon, menopang tubuhnya yang kehilangan tenaga. Ia lalu mengusap wajahnya yang basah. Pandangannya masih buram karena air mata.

“Kamu kenapa?”

Terkejut, perempuan itu menoleh cepat ke sumber suara.

Di atap rumah penuh jemuran berjarak 4 meter dari balkonnya, duduk seorang laki-laki. Tangannya memegang entah pensil atau pulpen. Kertas-kertas berserakan di sampingnya.

Laki-laki itu masih menatapnya penasaran, menunggu jawaban.


(to be continued)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar