Rasanya masih sama, aku kira. Masih aku yang tak pernah memandang punggungmu terlalu lama. Masih aku yang mencintai waktuku lebih dari kau. Masih aku yang selalu tertawa lepas tanpa perlu menutup muka.
Tapi entah sejak kapan aku mulai lapar akan permintaanmu. Entah sejak kapan aku mulai berjalan lebih jauh hanya untuk menghayati tiap lagu dengan kau sebagai tokoh utama. Entah sejak kapan tawamu membuatku ingin melihatnya lagi dan lagi seumur hidup.
Aku tahu, sangat mudah bagiku melepas khayal, meruahkan fantasi dan delusi. Karena mimpi bagiku adalah berkah, suatu tanah lapang di mana ku bisa membunuh diriku dan menghidupkannya kembali sesuka hati. Sedangkan kenyataan adalah ilusi paling cerdik, membungkus segala kekecewaan yang ada di bumi dengan bungkus menawan, pita legam, dan memberikannya kepada manusia seraya berkata, "Ini adalah harapan."
Tapi kau berbeda. Kau bukan kekecewaan. Kau adalah polusi rasa yang menyesakkan petak hatiku tanpa ampun. Masuk ke sela pori-pori hingga berada di dekatmu rasanya perih sekali. Mengaburkan pandanganku akan fiksi, akan tekad untuk tidak menjejak lagi, akan realita yang terlalu sulit kutolak karena kebaikanmu melingkupiku terlalu erat hingga terasa menyakitkan.
Kau tahu?
Hatiku sudah terlalu sempit bahkan untuk diriku sendiri, dan kau memaksa masuk lalu mendominasi.
Tapi entah sejak kapan aku mulai lapar akan permintaanmu. Entah sejak kapan aku mulai berjalan lebih jauh hanya untuk menghayati tiap lagu dengan kau sebagai tokoh utama. Entah sejak kapan tawamu membuatku ingin melihatnya lagi dan lagi seumur hidup.
Aku tahu, sangat mudah bagiku melepas khayal, meruahkan fantasi dan delusi. Karena mimpi bagiku adalah berkah, suatu tanah lapang di mana ku bisa membunuh diriku dan menghidupkannya kembali sesuka hati. Sedangkan kenyataan adalah ilusi paling cerdik, membungkus segala kekecewaan yang ada di bumi dengan bungkus menawan, pita legam, dan memberikannya kepada manusia seraya berkata, "Ini adalah harapan."
Tapi kau berbeda. Kau bukan kekecewaan. Kau adalah polusi rasa yang menyesakkan petak hatiku tanpa ampun. Masuk ke sela pori-pori hingga berada di dekatmu rasanya perih sekali. Mengaburkan pandanganku akan fiksi, akan tekad untuk tidak menjejak lagi, akan realita yang terlalu sulit kutolak karena kebaikanmu melingkupiku terlalu erat hingga terasa menyakitkan.
Kau tahu?
Hatiku sudah terlalu sempit bahkan untuk diriku sendiri, dan kau memaksa masuk lalu mendominasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar