He's (Bill Clinton, suaminya Hillary Clinton) doing this thing, and then he goes to his go-to moves. A lot of politicians do this, where he's just like, "Hey I'm gonna talk to all the different minority voters, this is the one time of year I talk to 'em." He's just like, "African-american people, you matter!" and everyone there, "oh yeah we do, this is our choice." And he's like, "Mexicans, I'm good right?" and everyone's like, "Alright yeah sure!" and then I remember he's like, "Muslims! yeah you guys are here, Muslim-American! Hey, stay here. Stay here, help us find the terrorists, help us win," and everyone around me, they started full-on applause break... And I remember standing there and being like, Bill, I hate to tell you this: I don't know any terrorist. I'm not terrorist the bounty hunter, I'm not just like, come out with blade, "I'm here to catch Al-Qaeda!" You know, he thought our only value was to help find terrorists, right? And so it was one of those things were thought about it for a long time, and I was like, oh I could write an angry internet post about this or –you know I learned this from my dad, I'm more in the in you know in the business of playing offense– look, I'm not gonna get my humanity from Bill fucking Clinton. He's just not gonna get it, I'm an alien, as far as he doesn't get, he will never understand where I'm coming from, my POV, the things my community have had to go through. We have to claim that shit on our terms so I just started working on this show, Patriot Act. And I was like, I'm gonna do it, I'm gonna show my perspective of how what it's like to be an American.
Jumat, 09 November 2018
Hasan Minhaj, Patriot Act, and Why It's Important To Start Speaking Up About Our Opinion
Kamis, 08 November 2018
Ternyata Papa Masih di Sini
Maaf, ingin nyampah dengan bercerita.
Setiap saya pulang, ada satu ritual yang tidak pernah saya lewatkan: menggratak isi rumah. Saya bongkar laci-laci, melihat kembali foto-foto lama. Membongkar kabinet dan lemari. Membuka lembar demi lembar buku diary saat SD (a.k.a. buku tulis Sinar Dunia). Membaca curhatan seorang Dewi Rosfalianti yang menangis setelah nonton drama Taiwan Magician of Love karena tamat ceritanya ("AkHirnya taMat cERitanYa, aq seDiiiiih, keNapa sih nGGak saMa RiChiE aja aKHhirnya??" Oh well, ternyata saya memang pemuja second-male-lead sejak masih kinyis), atau seorang Dewi Rosfalianti yang marah besar karena komik-komiknya disita sebelum ujian ("keNaPA sih aQ haRUs ngADePin sEMua iNi? PapA pasStii nGgak saYAnk saMa aq, kLo saYANk kan mEstiNyA PapA nGErti aQ buTUh KaKAshi").
Lalu kini selama 3 tahun terakhir, ada ritual baru yang selalu saya lakukan: membereskan buku-buku dan dokumen Papa saya. Sejak beliau meninggal 3 tahun lalu, hanya saya orang rumah yang bolak balik membuka lemari buku, mencari-cari bacaan, atau sekedar merapikan barisan buku yang terlalu menjorok ke dalam. Anehnya, dalam proses ritual itu, saya selalu menemukan hal baru tentang beliau, menemukan pemahaman lebih jauh tentang beliau. Di setiap judul-judul buku yang ada, atau lembaran kliping berita yang Ia tulis di koran, tertuang gagasan dan segenap pemikiran, lelehan cairan otak dan kearifan, sisi lain Papa saya yang sayangnya tidak saya "eksploitasi" habis-habisan semasa beliau hidup.
Saya masih ingat jelas, beberapa bulan sebelum beliau meninggal, saat beliau berjuang dalam sakitnya, frekuensi Ia berbicara tentang kematian semakin sering. Di tengah-tengah perjalanan bolak-balik Jogja-Jakarta, saya sejujurnya sudah menyiapkan diri. Menyiapkan diri jika ditinggalkan, menyiapkan diri menopang Ibu dan adik saya, merencanakan, mengantisipasi. But it's true what people said: You can always be prepared for what will come, but you'll never be ready for how it feels. Sakitnya masih sama, bahkan hingga sekarang, 3 tahun kemudian.
Penyesalan selalu datang di akhir. Kenapa saya tidak pernah berbicara banyak dengan Papa sebelumnya? Kenapa saya tidak pernah diskusi panjang lebar dengan Papa? Kenapa saya cenderung menutup diri? Saya sempat berpikir dulu Ia jahat karena meninggalkan saya begitu saja tanpa pernah menyampaikan pesan, atau sekedar ucapan selamat tinggal agar setidaknya saya bisa memahami dengan baik. Tapi ternyata saya yang jahat, karena pelan-pelan menjauh, menutup diri dan menganggap beliau hanya sebagai seorang ayah, bukan teman bicara, bukan sahabat yang selalu mengerti diri saya. Penyesalan itu selalu muncul. Saat saya sedang berjuang di satu titik, atau mencoba hal yang baru, pikiran itu selalu melintas.
"Pa, Efha udah sampai di sini lho, tapi Papa nggak ada."
Tapi sekarang, saat saya membongkar buku-buku milik beliau, melihat-lihat catatannya, saya merasa menemukan Papa saya kembali. Saya lalu sadar, bahwa beliau tidak pernah meninggalkan saya sejak awal. Beliau selalu ada bersama buku-bukunya, bersama tulisan-tulisannya, bersama cerita-cerita orang tentangnya. Saya selalu bersyukur, bahwa setiap saya pulang, membawa berbagai pertanyaan dan kepusingan hidup, Ia akan tetap ada untuk menjawab itu semua. Ia akan tetap ada di mana saya bisa terus menemuinya lagi dan lagi.
Maka bagi teman-teman yang masih ditemani oleh orang-orang tercintanya, ajaklah mereka berbicara. Tanyakan kabarnya dan tanyakan hari-harinya. Bercerita lah walaupun kita tahu kita tidak dapat solusi. Syukuri keberadaannya, nikmati kebaikannya. Never take people in your life for granted, because sometimes the trouble is we think we have time.
Senin, 05 November 2018
[Semacam Review] Blinded by The Peaky Blinders: Why I Love This Series That Much
Minggu, 04 November 2018
Jawaban Lama (dan Ternyata Masih Sama) Tentang Tuhan
Jika saat ini kamu memiliki kepercayaan terhadap Tuhan, pernahkah di masa lalu kamu meragukan eksistensi-Nya? Dan bagaimana insight kamu sekarang mengenai Tuhan? Please kindly share your perspective!
And this was my answer. The answer that is still relevant until now:
Pernah. I doubt His existence when I feel like I adore him the way society wish I would. I've been living in islamic boarding school since junior high school, with those strict conditions and regulations that insisted me to be those "akhwat dengan jaminan masuk surga". Then I think, "apakah jadi hamba Tuhan harus seperti itu?" Akhirnya gue ngerasa cuma kaya robot. Ngelakuin sholat dan ibadah lainnya karena alasan "gue muslim, apa kata dunia klo gue nggak sholat?". Konsep lillahita'ala berasa utopis banget buat gue.
Lalu ada suatu peristiwa, call it my breaking point, yang mulai mengubah pemahaman gue tentang Tuhan. Saat itu gue hancur, sehancur-sehancurnya, lalu gue sholat. Then I felt 'that'. That euphoria of the serenity. Ketenangan yang orang-orang beruntung itu bicarakan. Those magical moment when you realize that there is something beyond. Lalu gue sampe titik keyakinan bahwa Dia ada. Tapi baru sampe situ. Masih ancur-ancuran juga ibadah gue sebenernya.
You know Hozier's "Take Me To Church" song? That song is one of many songs that made me think further about God (Okay it's ironic, I know, untuk dekat sama Tuhan sendiri aja harus pake lagu yang isunya memakai agama lain. But I believe this world is home for countless messages from God. Kita bisa kenal Tuhan dari mana pun, lewat apapun). Lirik lagu itu ada yang kaya gini, "I'll worship like a dog at the shrine of your lies. I'll tell you my sins so you can sharpen your knives." That lyric kinda hits me. Apakah gue udah menyembah Tuhan sepasrah itu? Apakah gue udah mencintai Tuhan setotal itu? Malu semalu-malunya. Walaupun konsep ibadah gue rada jauh dari konsep pengorbanan besar-besaran kaya gitu, tapi tetep aja gue ngerasa belum total. Jangankan total, seperseratusnya aja gue belom.
Lalu gue sadar, gue harus terus terus dan terus belajar untuk sampai di titik itu. Karena sebejat-bejatnya temen lo ini, konsep itu rasanya indah banget buat gue. Ibadah bukan karena diawasi atau dilihat orang, tapi karena gue emang pengen, dan butuh. Ikhlas dan Ihsan.
Takwa itu susahnya minta ampun, tapi gue mau, makanya ibadah itu proses.
My friend said to me once, "Kita tidak akan bisa mengenal Tuhan tanpa mengenal diri kita sendiri." And I feel content by the fact that now, when I'm looking back at my past, He was there. Now, He is there. Later, He will always be there.