Saat lagi rebahan di tengah-tengah petak kamar kosan, saya tiba-tiba teringat ayah saya. Waktu masih hidup, pasti di petang hari akhir Ramadhan beliau langsung menyalakan speaker stereo (yang hanya dipakai saat lebaran sama dan aqiqah si nizam) dan menyetel takbiran. Biasanya ayah saya hanya duduk di ruang tengah, kadang sambil memejamkan mata sambi sesekali mengecek smartphone, sibuk mengarang ucapan lebaran atau membalas pesan. Tidak ada yang meriah di rumah kami. Beliau tak pernah sekalipun meminta kami melakukan apapun untuk merayakan takbiran. Tapi gema takbir tetap terdengar di seantero rumah, sepanjang malam hingga subuh. Seakan mengingatkan anak-anaknya untuk memaknai momentum ini walaupun sendiri-sendiri.
Keesokan paginya, setelah sholat Ied atmosfir rumah pasti langsung berubah jadi haru campur kikuk. Saya mencium tangan ayah dan ibu, meminta maaf. Biasanya ayah saya membalas dengan, "Maafkan Papa juga ya, Nak," lalu mencium ubun-ubun saya. Ibu memeluk saya erat, matanya berkaca-kaca.
Lalu sudah, atmosfir kembali normal, nyaris lega. Kami memang bukan keluarga yang ekspresif. Nyablak dan cerewet, memang, tapi kalau soal mengekspresikkan perasaan kami macam anak SD yang disuruh nyanyi di depan kelas. Kikuk dan malu. Kalau diingat-ingat, saya hampir tidak bisa mengingat kapan terakhir kali saya mengungkapkan rasa sayang kepada ayah dan ibu.
Setelah 5 tahun ayah saya meninggalkan keluarga, ritual cium tangan itu pun berubah menjadi ritual cium nisan. Biasanya saya ke makam di hari lebaran pertama saat hari petang, sehabis ashar. "Halo, Pah," sapa saya setiap kali menjejakkan kaki di samping makam. Saya juga tidak tahu mengapa saya perlu repot-repot menyapa, tapi itu hal yang refleks terucap sejak ziarah pertama.
Secara fisik, ziarah adalah momen terdekat saya dengan orang yang sangat saya cintai. Tapi sayangnya lebaran kali ini saya tidak dapat menyapa ayah saya. Tahun ini saya tidak dapat merasakan perasaan lega yang tak dapat saya deksripsikan saat melihat gundukan tanah, menjejakkan kaki di sampingnya, dan duduk sambil menyiangi rumput liar di sekitar nisan. Omong-omong, itu sama sekali bukan momen yang menyedihkan. Ada saatnya di mana duka tidak lagi menyiksa. Sederhananya, rasanya seperti bertemu teman lama. Rumitnya, seperti berjalan di samping kereta yang tidak pernah ada ujungnya. Kamu terus bergerak, di sampingmu kereta itu diam tak bergeming, tapi kamu tahu Ia tetap ada dan akan selalu ada.
Hampir dua ratus hari sejak kali terakhir saya mengunjungi ayah saya. Saya lalu menyadari, beberapa luka memang tidak ditakdirkan untuk sembuh, hanya mereda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar