Sabtu, 02 Mei 2020

Tentang Hidup Sendiri

Saya hidup di asrama selama hampir 12 tahun. Hidup dikelilingi orang, tidur tak pernah sendiri, minim privasi dan yang paling sering; saya tidak bisa "merasa" sendiri. Ekspresi saya mau tak mau selalu terpampang untuk diamati. Terlalu terbuka, selalu berisik. Apa itu personal space? Saya bahkan tidak punya tempat untuk sekedar menangis tanpa terganggu karena kamar mandi asrama tidak ada yang kedap suara.

Oleh karena itu saya benar-benar menghargai kesendirian. Saat teman-teman sekamar saya pergi, saya memilih berdiam di kamar, menikmati hari tanpa celoteh walaupun hanya untuk beberapa jam. No, I don't hate them. Saya bahkan suka sekali mendengarkan celoteh ngalor-ngidul atau perdebatan mereka yang berakhir tanpa kesepakatan. Dari mereka, saya belajar betul bahwa hidup kadang tidak butuh konklusi. Tapi saya juga tidak bisa bohong, bahwa memiliki tempat sendiri tanpa dibatasi lebar lemari sepertinya menyenangkan.

Beberapa bulan lalu saya akhirnya bisa mewujudkan aspirasi tinggal sendiri dengan pindah ke kos-kosan karena ada program pengayaan bahasa yang harus saya ikuti. Satu tempat dengan teman saya, kamar bersebelahan. Saya masih ingat betapa semangatnya saya saat belanja pretelan-pretelan kosan seperti rak, rice cooker, seprai, dll. Saya menata kamar saya, merapikannya hampir setiap jam, berjam-jam scrolling situs belanja online untuk memasukkan barang-barang lainnya ke dalam wishlist. Ternyata begini rasanya mengontrol ruang hidup untuk diri sendiri. Seru.

Karantina yang dimulai sejak bulan lalu menjadi pengalaman baru saya selama tinggal sendiri. Awalnya, saya pikir hal itu tidak terlalu menjadi masalah, karena alih-alih menjadi momok, mendekam di tempat tinggal masing-masing adalah anugerah bagi seorang homebody seperti saya. Saya pikir, semua akan baik-baik saja.

Selanjutnya eedaran larangan mudik terbit. Walaupun saya ditendang keluar rumah untuk merantau sejak lulus SD, saya tidak pernah melewatkan lebaran tanpa keluarga. Rasanya berat, tapi saya lebih khawatir dengan ibu dan adik saya. Kami hanya bisa menelpon, saling menguatkan satu sama lain. "Kamu kuat, kok," kata Ibu saya. Saya pikir, semua masih baik-baik saja.

Sampai beberapa hari kemudian, teman saya mengatakan Ia harus pulang ke daerah asalnya. Sebelumnya memang Ia berencana bersama saya berlebaran di sini, mengingat larangan mudik sudah berlaku masif hampir di semua daerah. Tapi ternyata keluarganya memutuskan untuk menjemputnya dan membawanya pulang. Praktis, tinggal saya satu-satunya penghuni kosan karena penghuni lainnya sudah pulang bahkan sejak pengumuman kuliah online diterbitkan.

Ini baru, sungguh baru. Saya tidak menyangka Tuhan sebegitu senangnya mengabulkan permintaan saya dahulu sampai saya benar-benar ditinggal sendirian.

"Ah, gakpapa lah! Udah gede ini," pikir saya dulu. Menguatkan diri sendiri. Menenangkan diri sendiri.

Hari pertama hidup (benar-benar) sendirian saya rasa masih baik-baik saja. Menjelang malam, saya langsung kunci kamar dan mendekam di dalam. Saya takut setan, tapi lebih takut manusia yang bisa lebih kejam dari setan. Saya sampai beneran mengikuti nasihat Ibu saya untuk menyetel murottal quran setiap malam. Persetan dengan teman-teman yang meledek saya karena melihat friend activity saya di Spotify mendadak religius. Saya butuh tenang.

Hari kedua, seraya makan bayam rebus dikasih bumbu kacang karena saya tidak bisa masak sama sekali, tangis saya pecah tak karuan. Saya takut, sedih luar biasa, merana ingin pulang. Saya juga kesal kenapa saya bisa selemah ini. Saya berkali-kali berkata, "Jangan cengeng, nanti kamu mati juga sendiri!" tapi tangis saya tidak juga berhenti. Saya baru menyadari bahwa hidup sendiri tidak seenak yang saya pikirkan dulu. Saya terlalu banyak berpikir, terlalu banyak khawatir. Waktu luang yang dulu saya cintai sekarang saya benci habis-habisan. Masa-masa gila ini sudah cukup menyiksa dilewati bersama-sama dan saya malah sok kuat merasa mampu melewatinya sendiri. Tolol betul.

Sekarang saya bisa apa? Cuma mengais sisa-sisa kesadaran, berusaha tetap waras dan tidak gila. Menghubungi teman-teman saya sesering mungkin. Mengirim foto-foto tidak jelas di grup WhatsApp keluarga inti, menantikan balasan dari Ibu saya yang penuh dengan typo dan dobel spasi. Ada yang bilang hal yang paling menyedihkan adalah saat kita di tengah keramaian tetapi masih merasa kesepian. Omong kosong. Kesepian dalam keadaan sendirian jauh lebih menyiksa.

Betapa saya rindu keramaian. Walaupun jatah makan terbagi-bagi dan tidak punya waktu untuk diri sendiri, setidaknya dengan bersama-sama, semua rasa juga terbagi rata.

1 komentar: