For me, quarantine means Korean drama series. Seriusan, sejak karantina di mulai saya jadi hampir tiap hari nonton drama Korea. Dari dulu juga nonton, tapi bukan menjadi jadwal keseharian. Biasanya saya menonton dengan sistem binge-watching: menunggu sampai tamat, lalu menonton keseluruhan episode dalam beberapa hari. Tapi kali ini saya rajin membuka situs streaming setiap hari, menonton berbagai judul secara bergantian. Seperti nonton pagi-pagi di hari Minggu, ganti channel kartun lagi-kartun lagi. Menyenangkan.
Nah, ada satu judul yang menyita perhatian saya sejak lama tapi baru saya bisa tonton sekarang. When The Camellia Blooms. Yang membuat saya tertarik awalnya adalah pemeran utama wanitanya, yaitu Go Hyo Jin. Saya sangat suka aktingnya, dan hampir semua drama korea yang Ia mainkan terjamin apik. When The Camellia Blooms sendiri bercerita tentang Dongbaek, seorang single mother yang membesarkan anak laki-lakinya di sebuah kota kecil bernama Ongsan. Dengan status ibu tunggal dan juga pemilik bar, Dongbaek setiap hari menjadi sasaran gunjingan seantero kota.
Selesai nonton pilot episodenya, saya langsung mbatin, pantesan ratingnya tinggi, jebule apik tenan.
Walaupun bermimpi itu gratis, tapi lama-lama rasanya jengah juga. Terutama jika mimpi-mimpi itu didukung oleh gemerlap hedonisme di drama Korea yang sering kita tonton. Seperti sinetron Indonesia, drama Korea juga sebenarnya sangat tipikal. Hampir separuhnya membawa isu yang itu-itu saja: perebutan warisan, kesenjangan sosial yang tanpa ampun sampai kisah cinta para chaebol (istilah untuk pewaris perusahaan besar di Korea) dan upik abu. Karakter di drama-drama Korea macam ini rata-rata hidupnya nyaman, tidak pernah mikir paycheck to paycheck, atau susahnya cari pekerjaan. Tapi sekalinya miskin? Narasinya dibikin seakan miskin betul, padahal ya nggak miskin-miskin amat. Hitung saja berapa banyak adegan ibu-ibu ber-handbag Channel dengan anting macam rentengan ciki menawarkan cek kosong kepada tokoh utama wanita agar dia segera menjauhi anaknya. Iya dong, kebanyakan tokoh wanitanya lah yang lebih papa. Sampai ada judul eksplisit "Rich Man Poor Woman" yang walaupun si ganteng Suho EXO yang jadi pemeran utama, tetep nggak akan saya tonton karena judulnya yang super cringey.
Tapi di When The Camellia Blooms, saya merasa menghirup angin segar. Tokoh-tokoh di drama Korea ini tidak bergelimang harta, tapi tetap bisa makan kenyang sampai lega. Tidak sedih karena dibuat tidak merana, ibarat rezeki yang pas-pasan alias pas butuh ada. Dan yang paling menyenangkan? Mangan ra mangan ngumpul. Sama-sama menderita, tapi setidaknya bersama-sama. Berlatar kota kecil yang jauh dari lifestyle kaum urban yang toxic, drama Korea ini sangat dekat dan apa adanya.
Yang kedua, saya sering sekali melihat tokoh wanita drama Korea yang dependen dengan tokoh pria. Sekalinya independen atau berdaya, pasti dia harus cantik, sukses, dan kaya. Lengkap, macam sudah paketan dari sananya. Walaupun ada beberapa contoh langka tapi tetap saja kebanyakan default-nya seperti itu. Nah, When The Camellia Blooms ini termasuk ke dalam contoh langka dan menarik. Walaupun Dongbaek cantik dan pintar (lebih ke streetmart daripada booksmart, and I love that so much), Dongbaek tidak kaya. Ia hanya pemilik bar di kota kecil yang harus membesarkan anaknya. Tidak hanya itu, Dongbaek harus sabar setiap hari menghadapi gunjingan tetangga, apalagi sejak Yong Shik sang putra desa yang dibesarkan oleh seluruh warga Ongsan terang-terangan menunjukkan rasa sukanya kepada Dongbaek. Menjadi orangtua tunggal sudah berat, ditambah menjadi objek kesinisan masyarakat. Tapi semakin jauh, karakter Dongbaek beneran ditempa menjadi sangat kuat. Saya tersenyum lebar sekali saat menonton karakter Dongbaek yang berkembang perlahan tapi pasti. Lebih kerennya lagi, tidak seperti kebanyakan drama korea yang cuma fokus pada perkembangan karakter beberapa tokoh utama, When The Camellia Blooms ibarat menempatkan Dongbaek sebagai sentral yang menyebarkan sinyal ke seluruh penjuru Ongsan. She grows, and the whole town grow with her too.
Singkat kata, drama korea ini memotret lingkup masyarakat di kota kecil yang walaupun tidak sempurna, namun tetap familiar dan hangat. Tidak perlu ada gedung pencakar langit atau ketukan high heels di lantai marmer. Di Ongsan, kue beras dan soju saja tampaknya sudah cukup membuat kita bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar