“Efha, nanti klo udah lulus, mau kerja atau nikah?” tanyamu
waktu itu.
Aku terdiam. “Kok nggak ada pilihan kuliahnya, Mak?”
Tentu, semua orang di ruangan itu tertawa terbahak-bahak.
Lalu kau ikut tertawa, baru menyadari bahwa zaman beranjak
berubah, waktu terus berjalan dan pola pikir orang-orang berkembang. Berbeda
dengan masamu, kuliah adalah hal yang lazim pada saat ini, bahkan suatu keharusan
di mata masyarakat “beradab”.
Tapi sekilas aku bisa melihat percikan syukur di matamu. Mata
yang sudut-sudutnya telah dihiasi keriput itu menyipit karena tawa, tapi binar yang
terpancar dari matamu tak pernah lelah menunjukkan cerminan hati pemiliknya.
Binar penuh rasa penerimaan yang tulus, dan rasa syukur yang ikhlas, sesuai
namamu.
Qana’ah. Menerima.
“Yaa, yaudah klo mau kuliah dulu mah. Yang penting kuliah
yang bener ya, Fha, biar jadi sukses. Emak mah doain terus,” katamu.
***
Entah mengapa, adegan itu yang terputar di kepalaku hari ini.
Sejenak setelah aku menerima telepon dari ayahku.
“Fha, Emak sudah meninggal,” katanya. Sendu.
Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun.
Seperti rekaman yang terputar otomatis, adegan-adegan saat
kau ada di depanku berkelebat di kepala. Saat aku kecil, saat ayah dan ibu
sibuk bekerja, kau yang mengejar-ngejarku seharian, meladeni semangat anak
kecil kurang ajar yang kabur dari neneknya karena tak mau disuapi. Saat aku
sakit tifus, kau yang mengusap-usapi kepalaku, membujukku agar aku tertidur,
menenangkan aku jika aku meronta karena nyeri kesakitan. Saat aku beranjak
dewasa, kau yang tak pernah bosan menyambutku saat aku mengunjungimu. Bahkan
saat aku semakin jarang datang, semakin jarang mencium punggung tanganmu, semakin
malas menemuimu hingga harus diingatkan oleh orangtuaku sendiri.
Tapi ada satu hal, senyum itu tetap sama. Senyumanmu yang
tulus dan lebar hingga membuat matamu menyipit. Senyum penuh rasa syukur yang
dihiasi dengan binar mata penuh rasa penerimaan.
Semoga kau akan tetap tersenyum di atas sana, Mak.
Al-fatihah...